dikarenakan sangat bencinya publik dengan kasus
pedofilia dan kejahatan seksual yang terjadi di tanah air, sekelompok
pihak mengusulkan hukuman kebiri atau kastrasi bagi pelakunya. Ide ini
terbit dari Komisi Perlindungan anak Indonesia (KPAI), Kementerian
Sosial, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Pendidikan Nasional.


Ulama yang pro dengan hukuman kebiri ini lebih mengedepankan aspek
maslahah ketika hukum kebiri diterapkan. Ketua Komisi Dakwah dan
Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cholil Nafis
berwacana, pemberian hukuman kebiri pada terpidana pedofilia bisa
memberikan efek jera (zawajir).
Hakim bisa berijtihad dalam memberikan hukuman dalam kasus ini dengan pertimbangan zawajir tadi. Namun pada hakikatnya, dalam kitab-kitab turats (klasik) hukum Islam, mayoritas ulama mengharamkan kebiri untuk manusia.Diantaranya Imam Ibnu Abdil Bar dalam Al Istidzkar (8/433), Imam Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Bari (9/111), Imam Badruddin Al ‘Aini dalam ‘Umdatul Qari (20/72), Imam Al Qurthubi dalam Al Jami’ li Ahkam Alquran (5/334), Imam Shan’ani dalam Subulus Salam (3/110), serta ulama-ulama fiqh lainnya. Ibnu Hajar Al Asqalani dan Syaikh Adil Matrudi dalam Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al Syahwat bahkan menyebut haramnya kebiri untuk manusia sudah menjadi ijma' ulama.
Selain ulama klasik, mereka yang kontra soal hukuman kebiri ini juga berasal dari kalangan kontemporer seperti; Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Asosiasi Pondok Pesantren Jawa Timur, Hizbut Tahrir, serta kalangan ulama kontemporer lainnya. Mereka berdalil, kebiri berarti mengubah fisik manusia, melanggar HAM, dan melahirkan jenis hukum baru yang tak pernah dikenal dalam konsep jinayah Islamiyah.
Para ulama yang mengharamkan kebiri berdalil dengan hadis Ibnu Mas’ud RA yang mengatakan, "Dahulu kami pernah berperang bersama Nabi SAW sedang kami tidak bersama isteri-isteri. Lalu kami bertanya kepada Nabi SAW, 'Bolehkah kami melakukan pengebirian?'. Maka Nabi SAW melarangnya." (HR Bukhari, muslim, Ahmad, dan Ibnu Hibban).
Hakim bisa berijtihad dalam memberikan hukuman dalam kasus ini dengan pertimbangan zawajir tadi. Namun pada hakikatnya, dalam kitab-kitab turats (klasik) hukum Islam, mayoritas ulama mengharamkan kebiri untuk manusia.Diantaranya Imam Ibnu Abdil Bar dalam Al Istidzkar (8/433), Imam Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Bari (9/111), Imam Badruddin Al ‘Aini dalam ‘Umdatul Qari (20/72), Imam Al Qurthubi dalam Al Jami’ li Ahkam Alquran (5/334), Imam Shan’ani dalam Subulus Salam (3/110), serta ulama-ulama fiqh lainnya. Ibnu Hajar Al Asqalani dan Syaikh Adil Matrudi dalam Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al Syahwat bahkan menyebut haramnya kebiri untuk manusia sudah menjadi ijma' ulama.
Selain ulama klasik, mereka yang kontra soal hukuman kebiri ini juga berasal dari kalangan kontemporer seperti; Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Asosiasi Pondok Pesantren Jawa Timur, Hizbut Tahrir, serta kalangan ulama kontemporer lainnya. Mereka berdalil, kebiri berarti mengubah fisik manusia, melanggar HAM, dan melahirkan jenis hukum baru yang tak pernah dikenal dalam konsep jinayah Islamiyah.
Para ulama yang mengharamkan kebiri berdalil dengan hadis Ibnu Mas’ud RA yang mengatakan, "Dahulu kami pernah berperang bersama Nabi SAW sedang kami tidak bersama isteri-isteri. Lalu kami bertanya kepada Nabi SAW, 'Bolehkah kami melakukan pengebirian?'. Maka Nabi SAW melarangnya." (HR Bukhari, muslim, Ahmad, dan Ibnu Hibban).
Selain hadits sahih yang tegas melarang pengebirian ini, ulama
yang ingin berijtihad dalam penetapan hukum Islam harus merujuk pada
hukum-hukum asal yang sudah ada. Kasus pemerkosaan sebenarnya bisa
diambil dari hukum asalnya, yakni perzinahan atau homoseksual. Jika pedofilia masuk dalam kategori perzinahan, maka hukumannya
cambuk 100 kali atau rajam (bunuh). Jika pelaku pedofilia tergolong
liwath (homoseksual) ia dihukum mati. Jika sebatas pelecehan seksual
(at taharusy al jinsi) yang tidak sampai melakukan zina atau
homoseksual, hukumannya ta’zir.
Mereka yang kontra juga berpendapat, hukuman kebiri tidak dikenal dalam literatur hukum Islam. Padahal, di zaman kuno sebenarnya sudah banyak tradisi kebiri ini. Misalkan tradisi kasim istana di Cina kuno. Namun model kebiri ini tidak diadopsi dan dipilih syariat Islam sebagai hukuman alternatif bagi tindak kejahatan seksual. Kebiri dengan suntikan kimiawi juga berdampak berubahnya hormon testosteron menjadi hormon estrogen. Akibatnya, laki-laki yang mendapatkan hukuman ini akan berubah dan memiliki ciri-ciri fisik seperti perempuan.
Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Hamid Fahmy Zarkasy mengatakan, pemerintah boleh-boleh saja menjadikan kebiri sebagai salah satu pilihan hukuman bagi terpidana kasus pedofilia. Namun, ijtihad seorang hakim dalam menjatuhkan hukuman sangatlah menentukan. Tidak seluruh kasus yang akan mendapat hukuman kebiri. Hakim bisa berijtihad dengan kaidah fiqh "ad dharuratu tubihu al-mahdhurat’ (Keadaan terdesak dapat membolehkan hukuman yang sebenarnya terlarang).
Kondisi darurat yang dimaksudkan kaidah fiqh ini benar-benar sesuai dengan defenisinya, yakni sudah pada tahap mengancam jiwa. Misalkan, pelaku pedofilia residivis tersebut melakukan tindakan pembunuhan atau penyiksaan secara sadis kepada korbannya. Atau, bila hasratnya tidak terpenuhi ia bisa menghilangkan nyawa korban.
sumber http://www.republika.co.id
Mereka yang kontra juga berpendapat, hukuman kebiri tidak dikenal dalam literatur hukum Islam. Padahal, di zaman kuno sebenarnya sudah banyak tradisi kebiri ini. Misalkan tradisi kasim istana di Cina kuno. Namun model kebiri ini tidak diadopsi dan dipilih syariat Islam sebagai hukuman alternatif bagi tindak kejahatan seksual. Kebiri dengan suntikan kimiawi juga berdampak berubahnya hormon testosteron menjadi hormon estrogen. Akibatnya, laki-laki yang mendapatkan hukuman ini akan berubah dan memiliki ciri-ciri fisik seperti perempuan.
Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Hamid Fahmy Zarkasy mengatakan, pemerintah boleh-boleh saja menjadikan kebiri sebagai salah satu pilihan hukuman bagi terpidana kasus pedofilia. Namun, ijtihad seorang hakim dalam menjatuhkan hukuman sangatlah menentukan. Tidak seluruh kasus yang akan mendapat hukuman kebiri. Hakim bisa berijtihad dengan kaidah fiqh "ad dharuratu tubihu al-mahdhurat’ (Keadaan terdesak dapat membolehkan hukuman yang sebenarnya terlarang).
Kondisi darurat yang dimaksudkan kaidah fiqh ini benar-benar sesuai dengan defenisinya, yakni sudah pada tahap mengancam jiwa. Misalkan, pelaku pedofilia residivis tersebut melakukan tindakan pembunuhan atau penyiksaan secara sadis kepada korbannya. Atau, bila hasratnya tidak terpenuhi ia bisa menghilangkan nyawa korban.
sumber http://www.republika.co.id
Hukuman Kebiri untuk fedofilia
Reviewed by King Denie
on
10:16 PM
Rating:

No comments:
sempatkan untuk komentar bentar ya... ;)