Pada
pertengahan bulan Juni 2005, Istri saya melahirkan dengan baik (walau dengan
operasi caesar), bayi kami sehat tidak kurang suatu apapun, beratnya 3.150 Kg
dengan panjang 49 Cm. Sekali lagi Kami sangat bahagia atas peristiwa ini.
Kembali Segala saran-saran dokter (Dokter Anak: Prof. “R” di RS “A”) kami
laksanakan dengan baik, minum vitamin-vitamin, susu ibu menyusui, menjaga
kesehatan makanan/perlengkapan makan, makan makanan bergizi, menjaga
pantangan-pantangan dalam merawat bayi. Dan rutin melakukan Imunisas. Disinilah
mulai timbul bencana pada keluarga kami, pada saat anak/bayi kami berusia +/- 7
bulan, untuk kesekian kalinya kami datang untuk imunisasi, pada saat itu kami
datang ke dr Anak kami Prof. “R” di RS “A” , namun pada saat itu beliau tidak masuk,
diganti oleh dokter pengganti/wanita yang masih muda/mungkin dokter baru (namun
saya lupa namanya). Begitu melihat jadwal pada buku RS anak saya, dokter
tersebut langsung siap melakukan imunisasi terhadap anak saya, “hari ini
imunisasi HIB ya ?!”, saya & istri tahu bahwa imunisasi HIB tersebut salah
satunya untuk mencegah radang Otak, makanya Istri saya sempat bertanya, “dok,
seandainya imunisasi ini tidak dilakukan bagaimana ya ?!”, lalu dokter
pengganti tersebut menjawab dengan nada agak ketus, “apakah ibu mau, anak ibu
jadi Idiot?! (sambil memperagakan tampang muka orang yang idiot dengan lidah
dijulurkan keluar)”. Karena begitu sayangnya kami dengan anak kami, sudah
barang tentu kami tidak mau anakkami idiot, lagi pula saya saat itu berfikir
demi kesehatan anak kami tentulah kami menuruti apa kata dokter yang lebih
tahu/berpengalaman dengan imunisasi tersebut. Lalu tanpa memeriksa dengan
seksama kondisi anak kami dalam keadaan fit/tidak, dan perlu tidaknya imunisasi
tersebut kembali diberikan kepada anak saya (karena sebelumnya pada saat
berumur +/- 5 bulan anak kami telah pernah diberikan imunisasi HIB I) dokter
pengganti tersebut langsung memberikan suntikan imunisasi HIB II kepada anak
saya.
Dua
hari setelah pemberian imunisasi HIB yang kedua tersebut anak kami mengalami
panas, lalu turun, panas lagi lalu turun ( 2 atau 3 hari sekali pasti mengalami
panas ) dan anehnya panasnya hanya dikepala dan di pundak/leher serta di ketiak
saja, badan/tangan dan kakinya tidak. Hal ini berlangsung +/- selama dua minggu,
jika sedang panas, panasnya pernah sampai 40,6 derajat C.
Sewaktu
di kantor saya sempat bertanya kepada rekan-rekan yang masih/pernah punya anak
kecil mengenai panas anak saya, banyak diantara mereka yang bilang panas
setinggi itu berbahaya, malah sebagian teman bilang anaknya panas “cuma” 38
derajat C saja sudah Step/kejang-kejang, namun sampai hari itu anak saya belum
pernah Step/kejang-kejang, padahal panasnya beberapa kali sampai 40 derajat C,
dan biasanya akan turun dengan sendirinya, paling-paling hanya rewel, susah
tidur. Saya mulai Panik dan khawatir, takut jika anak saya tiba-tiba
kejang/step di rumah.
Dan
Saya mulai ke dokter, kebetulan di dekat rumah ada dokter Umum di RS. “D”
(Berhubung waktu itu hari minggu tidak ada dokter Spesialis anak yang Buka).
Dokter tersebut memberikan beberapa macam obat, ada yang syrup, ada yang
serbuk. Setelah memakan obat-obatan tersebut selama 3 hari, anak kami masih
belum membaik (panasnya masih naik turun), lalu kami ke RS “A” tempat dokter
anak saya Prof. “R” dimana selain diberi obat-obatn juga disarankan untuk
memeriksakan darah anak saya ke Lab. (waktu itu saya langsung periksakan anak
saya ke Lab. “P” yang sudah berpengalaman), Karena setelah kami ketahui
hasilnya “negatif/tidak ada penyakit” dan obat dari Prof. “R” di RS “A” juga
belum efektif menyembuhkan panas anak saya, akhirnya saya membawa anak saya ke
RS “B” Cikini (karena saya tahu di RS “B” ada ruang perawatan anak, jika memang
anak saya perlu di rawat).
Di
sinilah ketabahan/kesabaran kami di uji. Saya datang pertama kali keRS “B”
cikini, Kamis 17 Maret 2005 pagi +/- jam 7.00 Wib, dan setelah bertanya
kesana-kemari saya langsung membawa anak saya ke UGD (Unit Gawat Darurat)
karena masih pagi, dan disana ada dokter jaga, setelah dilakukan beberapa
tindakan lalu +/- jam 08.30 saya bawa anak saya ke dokter Spesialis anak dr.
“N”, baru kemudian diminta untuk di bawa ke ruang perawatan untuk di rawat.
Pintarnya
RS, setiap mereka akan melakukan tindakan medis terhadap anak kami, kami/orang
tua harus menyetujui terlebih dahulu tindakan tersebut, dengan catatan apabila
orang tua pasien tidak menyetujui suatu tindakan medis, kami juga disodorkan
surat penolakan tindakan medis, yang didalamnya tertera apabila terjadi apa-apa
terhadap anak saya, maka pihak RS tidak bertanggung jawab karena tindakan medis
yang akan mereka lakukan tidak disetujui. Itu artinya kami/pasien bagai memakan
buah simalakama, dan tentunya harus mengikuti semua langkah-langkah medis yang
dilakukan oleh pihak RS, karena memang tidak ada pilihan lain.
Anak
saya langsung di infus dan diambil darahnya untuk pengecekan (karena hasil cek
darah yang saya bawa dari Lab “P” sebelumnya menurut pihak RS bisa berubah)
walaupun akhirnya hasilnya juga masih “negatif” tidak diketahui
penyebab/penyakit panas anak saya. Kemudian atas anjuran dokter anak saya harus
puasa dari jam 15.00 (tiga sore) sampai dengan 21.00 (sembilan malam) kerena
akan diambil darahnya lagi untuk pemeriksaan. Selama waktu tersebut kami sedih
melihat anak saya, walaupun ada infus di kakinya, namun anak saya tampak ingin
makan/minum, namun kami tidak berikan walau mulutnya seperti orang yang
kehausan. Kami sangat mengkhawatirkan fisik anak saya.
Benar
saja apa yang Saya dan Istri saya khawatirkan terjadi, esokan hari/Jum’at subuh
begitu panas anak saya kembali tinggi sampai lebih dari 40 derajat C, anak saya
langsung kejang/Step (padahal sewaktu di rumah belum pernah sekalipun anak saya
kejang/Step seperti saat itu), suster-suster RS mulai memberikan anak saya
Oksigen melalui selang ke hidung, dan karena panas/Kejangnya lebih dari 1/2
jam, maka anak saya pagi itu juga langsung di bawa ke ruang ICU/PICU (Pedriatic
Intensive Care Unit). Anak saya di diagnosa awal “kemungkinan” terkena Radang
Otak yang disebabkan oleh Virus/bakteri, sehingga mengganggu fungsi pengaturan
suhu tubuh. Dan dokter bilang kemungkinan sembuhnya hampir tidak ada, kalaupun
sembuh akan ada efek sisa, misalnya jadi Idiot, Lumpuh, dsb. (Pihak RS langsung
Pesimistis untuk penyembuhan anak saya).
Di
ICU anak saya di rawat oleh Tim Dokter, dengan ketua Timnya yaitu dr. “Y”
(dokter spesialis anak senior RS “B”), dengan anggota beberapa dokter Spesialis
THT, Syaraf, Urologi, Bedah, dsb. Ditambah dengan dr.Konsulen/semacam
penasihat, yaitu Prof. “A” dari RS “C”, selain dokter tim tersebut dibantu oleh
beberapa orang suster yang dalam seharibekerjanya dibagi menjadi 3 shift,
suster-suster inilah yang memonitor perkembangan kesehatan anak kami tiap saat.
Suster juga sama seperti karyawan di kantor kita, ada yang teliti, ada yang
rajin, ada yang baru/belum berpengalaman, ada yang text book, ada yang kurang
berani bertindak, dsb.
Sabtu
subuh (hari ke dua perawatan) anak saya kembali panas tinggi dan kembali
kejang, kali ini suster jaga pada saat itu terlihat kurang tanggap/cekatan
dalam memberi tindakan terhadap anak saya, malahan pada saat kejang, karena
tenaga medis tidak begitu “care”, Istri saya sendiri yang harus mengganjal
mulut anak saya dengan alat pengganjal agar lidahnya tidak tergigit, dan karena
terlalu lama tidak ditangani dengan baik akibatnya anak saya semakin lemah,
terlihat pada mesin yang memonitor Oksigen dan Jantung anak saya saturasinya
(istilah mesin tsb) terus menurun. Pada saat tim Dokter datang kondisi anak
saya sudah memburuk, bahkan pada layar monitor mesin saturasi sempat terlihat
“Flat”, artinya paru-paru/oksigen dan jantung anak saya telah berhenti
bergerak. Saya dan Istri langsung Shock dan lemas tangis pun tak terbendung.
Beberapa tenaga medis terus berusaha memompa secara manual nafas anak saya, lalu
mereka segera memasang mesin Ventilator/alat bantu pernafasan (mesin yang sama
dengan yang digunakan Almh. Sukma Ayu) dan menyalakannya. Seperti biasa pihak
RS menyodorkan surat persetujuan tindakan pemasangan mesin tsb. Pada saat itu
saya & istri sangat Shock, sehingga konsentrasi kami hanya kepada anak kami
tersebut, oleh karena saya tidak begitu memperdulikan surat persetujuan
melakukan tindakan yang disodorkan RS, akibatnya pihak RS langsung mencopot
kembali selang-selang yang terpasang dan mematikan mesin/listrik Ventilator
tsb. Kami kesal dan marah (walau hanya di dalam hati), lalu segera meraih surat
persetujuan tindakan tsb dan menandatanganinya, barulah alat tersebut kembali
dipasang/dinyalakan, dan selamatlah nyawa anak saya ketika itu (padahal menurut
hemat saya hitungannya hanya detik untuk mengambil keputusan tersebut/terlambat
sedikit mungkin akan berbeda ceritanya).
Kurang
lebih dua minggu alat Ventilator itu terpasang, dan dua minggu itu pula kami
mengalami pengalaman yang sangat pahit dalam kehidupan kami, kami menyaksikan
betapa tersiksanya anak yang kami sayangi yang terus menerus dilakukan tindakan
medis, diantaranya :
- Diambil darahnya yang hampir setiap hari (dengan cara disedot dengan alat suntik), walaupun hasil Lab.-nya selalu negatif dengan jumlah pengambilan dalam sehari bisa 3X, dan dalam sekali ambil antara 5 – 10 CC darah, padahal kondisi anak saya ketika itu sangat lemah/terlihat kuning seperti kurang darah. Diambil sampel Urine, sampel cairan dari perut, Bahkan sampai diambil contoh cairan otaknya (melalui penyedotan pada ruas tulang belakang) walaupun hasilnya juga negatif.
- Berganti-ganti tempat untuk memasukan jarum Infus, dari vena-vena di kepala, tangan, kaki, selangkangan, malah karena Tim medis sudah kesulitan memasukan jarum infus, tim medis melakukan tindakan Vena Sectio (operasi kecil/merobek kulit/daging terluar) untuk dicari pembuluh vena yang berada agak ke dalam agar jarum infus dapat memasukan cairan infus ke tubuh anak saya. Kedua pergelangan tangan dan kaki anak saya telah di-Vena Sectio.
- Bius Total, dengan alasan takut mesin Ventilator tidak berfungsi dengan baik apabila anak saya dalam keadaan sadar.
- Diberi obat-obatan/anti biotik berganti-ganti sesuai indikasi/kemungkinan (Baru kemungkinan/seperti coba-coba) penyakitnya yang kadarnya tergolong keras, yang sudah pasti banyak efek sampingnya.
- Karena sudah tidak ada tempat untuk Infus dan pengambilan darah (semua titik venanya telah habis), beberapa kali tindakan infus/pengambilan darah tidak berhasil dilakukan, lalu dicoba lagi dan di coba lagi sehingga menimbulkan bekas luka lebam/biru/bekas-bekas jarum suntik yang sangat banyak.
- Dilakukan foto Thorax (Rongent) beberapa kali, Padahal sekali saja dilakukan di yakini dapat membunuh banyak sel tubuh)
- Timbul efek samping, Paru-paru anak saya meradang/infeksi sehingga di penuhi banyak cairan, dan kepala belakang dan samping kiri memar/luka/lecet/bengkak. Karena terlalu lama dalam posisi tidur/di bius (hal ini seharusnya tidak perlu terjadi kalau tim medis sering merubah posisi tidur anak saya/setelah kami Complain baru hal ini dilakukan).
- Masalah Biaya. Sering kali pihak RS (dokter/suster), menanyakan masalah biaya, walaupun berkali-kali saya katakan ada surat jaminan pembayaran dari Kantor. (Coba bayangkan seandainya memang kami tidak punya biaya).
- Diagnosa penyakit yang tidak didukung bukti yang pasti, tim Medis hanya selalu mengatakan “Kemungkinan”. Dari +/- satu bulan di rawat, anak saya sudah beberapa kali dikatakan kemungkinan penyakitnya bersumber dari Radang Otak karena penyakit/Virus/bakteri: Herpes, berubah Toxoplasma, berubah Maningitis, berubah Ensevalitis, sampaikesimpulan terakhir/dari sampel darah terakhir anak saya masih belum mengetahui pasti penyebab penyakitnya (bukti lab. adanya virus/bakteri tersebut tidak pernah ada).
Pada
masa itu juga kami sempat beberapa kali bersitegang dengan beberapa Tim Medis
anak saya, namun kami selalu kalah (mengalah) karena posisi kami sangat lemah,
Ketua tim dokternya “dr.Y” sempat berujar bahwa mereka dokter-dokter ahli, ”
kalau di RS “C” bapak boleh bilang “begitu”, karena banyak dokter muda yang
sedang belajar disana” (maksudnya menanggapi guman saya dengan istri saya, “kok
anak kita seperti kelinci percobaan ya!? dan kata-kata tersebut didengar Suster,
yang lalu melaporkannya ke ketua Timdokternya), bahkan dokter itu juga sempat
berkata “kalau bapak tidak puas, silahkan angkat anak bapak sekarang !!”.
Padahal saat itu, hal tersebut tidak mungkin kami lakukan karena seluruh tubuh
anak saya terpasang mesin (Ada mesin ventilator, ada mesin saturasi
Oksigen/Jantung, ada infus, ada selang Sonde/makanan, dsb)
Pernah
seorang anggota Tim dokter yang didatangkan dari RS “C”, yaitu dr. “I” ahli
syaraf, setelah memeriksa anak saya mengatakan, “Penyakitnya malah dari RS ini
semua, ya !!”, Setelah masa perawatan 2 minggu tersebut timbul berbagai
komplikasi; mata anak saya buta/tidak bisa melihat (menurutnya mungkin bisa
sembuh karena anak saya masih bayi), Infeksi paru, memar di kepala, badan
kaku/keras, padahal pertama kali masuk RS anak saya “hanya” sakit Panas.
Kemudian dr “I” juga bilang ” tadi saya coba lepas alat Ventilatornya agak
lama, anak bapak bagus kok, dia sudah bisa bernafas sendiri “. Saya bersyukur
berarti ada kemajuan pikir saya ketika itu.
Awal
minggu ke tiga beberapa orang tim medis (ada beberapa dokter dan beberapa
suster), mencoba melepas alat bantu nafas/Ventilator (mungkin setelah diberi
masukan oleh dr. “I” dari RS “C”), di coba 1 jam, 2 jam, 3 jam dan seterusnya
…. rupanya anak saya sudah bisa kembali bernafas sendiri/normal. Namun karena
Sumber penyakitnya belum diketahui maka Tim medis beberapa kali melakukan
penggantian Obat/anti biotik, diantaranya Acyclovir, Delantin, Tegatrol,
TieNam, Meronem (dua jenis yang tertulis dibelakang katanya merupakan anti
Biotik yang paling Ampuh/Mahal/Impor dari Amerika).
Minggu
ketiga dan selanjutnya Panas kepala anak saya relatif stabil (antara 36 – 38
derajat C), dan kondisinya relatif membaik “hanya” tinggal matanya yang Buta
dan badannya yang kaku (sendi-sendinya tidak bisa ditekuk), namun pengambilan
darah masih dilakukan secara berkala, dan hampir setiap hari dilakukan Terapi
Fisioteraphy (Penyinaran dan pemijatan). Sehingga akhir minggu ke tiga semua
Infus telah dicopot, oksigen dicopot, hanya tinggal selang Sonde (Selang
makanan/di mulut) yang masih terpasang.
Saya
dan Istri (serta keluarga besar kami), terus berdoa setiap hari untuk kesehatan
anak kami satu-satunya, sampai pada pertengahan minggu ke empat, dr. “I”
(Specialis syaraf dari RS “C”) bilang anak kami boleh di bawa pulang, namun
minimal harus sehari masuk ke ruang perawatan biasa dahulu (sesuai prosedur RS
“B”). Dan menurut dokter “I” juga, anak kami hanya cukup rawat jalan ke RS “C”,
untuk berobat ke dr. “I” dan dr. “L” (specialis tumbuh kembang/penyembuhan
tubuh anak saya yang masih kaku-kaku). Setelah sehari berada di ruang perawatan
biasa, dan tidakada masalah kami membawa anak kami pulang dengan membawa dua
macam obat (Anti kejang dan anti Virus), dan sebelum pulang, lagi-lagi anak
kami diambil kembali darahnya oleh RS untuk pemeriksaan penyebab penyakit anak
kami, setelah itu barulah kami diperbolehkan pulang.
Namun
tidak sampai 2 hari anak kami di Rumah, kami/keluarga lupa akan luka dibelakang
kepalanya (akibat perawatan yang lalai sebelumnya) yang masih belum sembuh
total, lukanya terlihat memar/merah/agak bengkak/dan mungkin infeksi, yang mungkin
juga membuat anak kami panas lagi/karena infeksinya, Panasnya kembali naik
sampai 40 derajat C lebih, bahkan ketika akan kami beri obat (yang kami bawa
dari RS), anak kami muntah hingga lemas, lalu tanpa banyak pikir lagi walaupun
pada saat itu jam 02 pagi, kami kembali membawa anak kami ke RS “B” Cikini dan
kembali kami mengalami kekesalan, anak kami diperlakukan layaknya seperti
pasien yang baru masuk RS. Anak kami kembali masuk ICU, kembali harus Infus,
puasa, diambil darahnya lagi (meskipun titik venanya sudah habis/tidak ada
tempat lagi untuk infus/periksa darah, dan saya juga telah sampaikan mungkin
panasnya akibat luka dibelakang kepalanya yang belum sembuh/infeksi), padahal
saya sudah protes terhadap dr. jaga pada saat itu bahwa anak saya sebelumnya
sudah dirawat hampir sebulan di RS tersebut, dan hasil lab. terakhirnya juga
baru kemarin saya ambil dengan hasil “negatif”, juga saya kemukakan mengenai
luka dibelakang kepalanya yang harus diprioritaskan pengobatannya. Namun karena
dr. terus mengemukakan argumennya, akhirnya kami mengalah dan menyerahkan
sepenuhnya apapun yang akan dilakukan oleh dr. Dan kembali anak saya dipakaikan
selang Oksigen ke hidungnya, lalu dengan alasan “saturasi” nafasnya terus
menurun, Tim medis berencana untuk memasang kembali mesin Ventilator pada anak
saya, dengan sebelumnya meminta persetujuan saya lagi untuk diambil darahnya
sebelum pemasangan mesin tersebut (padahal ketika itu kondisinya terlihat
pucat/kuning seperti telah kehabisan darah). Kembali dengan berat hati dan
berharap Tim Medis melakukan tindakan yang “benar” untuk anak saya, saya
kembali menyetujuinya. Namun belum sempat mesin itu dipasang, belum sempat
hasil lab I dan ke II (pengambilan darah pada pada hari itu) ada hasilnya,
akhirnya anak saya dipanggil oleh yang Maha Kuasa …… anak saya mengalami Gagal
Nafas dan dinyatakan Meninggal oleh pihak RS, walau saat itu saya pegang denyut
Nadi di leher/bawah dagunya masih ada (walau lemah), sewaktu kami minta untuk
terus memompa alat bantu nafas manualnya, Dokter/suster yang ada pada saat itu
sudah lepas tangan dan tidak melakukan tindakan apapun juga. Akhirnya dengan
Ikhlas, didepan mata kepala saya dan istri saya, anak kami melepaskan nyawanya
tanpa kami bisa berbuat apapun juga (Selasa 12 April 2005 Jam 23.25 wib).
Akhirnya Anak kami meninggal dengan sebab bukan karena penyakitnya (Panas),
menurut kami “kemungkinan” karena gagal nafas/Infeksi paru atau malah “mungkin”
karena terlalu lemah kehabisan darah.
Innalillahi
Wa inna illaihi roji’un
selamat jalan Permata hatiku, …….. doa kami ‘kan selalu menyertaimu…Amin
Dan
tidak lupa saya dan keluarga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada rekan-rekan yang telah memberikan suport baik moril, materil maupun
spirituil kepada saya dan keluarga, semoga segala kebaikan rekan-rekan akan
dibalas dengan pahala yang berlipat-lipat oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Amin.
Salam,
Istriyanto & Keluarga
Note
:
Tanpa
mengurangi rasa hormat saya pada Ilmu Kedokteran dan tenaga medis, sesuai
dengan pengalaman berharga dan mahal yang telah saya alami, maka kami mencoba
mengambil kesimpulan (Setelah kami juga mendengar dari sesama Pasien RS,
rekan/sahabat, tetangga, saudara yang sempat bezuk dan mengatakan pada saya,
selama dalam perawatan sampai saat meninggalnya anak saya) sbb:
- Banyak kasus penyakit bayi/balita yang timbul setelah mereka disuntik imunisasi.
Pasien lain di RS yang sama mengatakan pada saya, anak saudaranya sampai dengan usia 2 tahun belum pernah suntik Imunisasi Hepatitis namun, setelah ada dokter (spesialis anak) yang tahu, lalu disarankan di imunisasi Hepatitis, kemudian tidak lama setelah itu akhirnya anak saudaranya positif terkena Hepatitis akut, dan harus bolak-balik berobat ke dokter.
Tetangga saya, sehabis Imunisasi campak, dua hari kemudian malah terkena campak.
Tetangga kami yang lain, anak pertamanya rutin diimunisasi, namun phisiknya malah lemah sering sakit-sakitan, sedangkan anak keduanya sama sekali tidak pernah imunisasi namun malah sehat, hampir tidak pernah sakit (kalaupun sakit cepat sembuh/ringan)
Teman sekolah saya anaknya tidak pernah Imunisasi malah sehat, umur 10 bulan sudah dan banyak lagi kasus-kasus serupa yang tidak mungkin saya tulis satu persatu.
- Menurut saya, Jika bisa Hindari Imunisasi, kalaupun perlu/terpaksa pilihlah imunisasi yang pokok saja (bukan imunisasi lanjutan/yang aneh-aneh) alasannya :
Kita “Mendzolimi”, anak kita sendiri yang memang sedang masa pertumbuhan dan pertahanan tubuhnya masih lemah, malah kita suntikan penyakit (walaupun sudah dilemahkan) ke tubuhnya.
Kita tidak pernah tahu kondisi anak kita sedang benar-benar sehat atau tidak, karena terutama anak yang masih di bawah 1 tahun biasanya belum bisa bicara mengenai kondisi badannya, sedangkan imunisasi harus dilakukan pada bayi/balita yang sehat (tidak sedang lemah fisiknya/sakit).
Sesudah kita memasukan penyakit ke tubuh anak kita, biasanya kita juga harus mengeluarkan banyak biaya. (Jasa dokter/RS, harga imunisasi, dsb),
Tidak ada jaminan (Dokter/RS/puskesmas) apabila setelah imunisasi anak kita bebas dari penyakit yang telah dimasukan ketubuhnya. Contoh nyata yang terjadi pada anak saya, padahal anak saya sudah 2 kali imunisasi HIB ketika berusia +/- 5 dan 7 bulan ), padahal sebelumnya dokter bilang imunisasi HIB untuk menghindari penyakit Radang Otak, namun nyatanya anak saya malah meninggal akibat penyakit Radang Otak.
Menurut seorang rekan yang pernah membaca Literatur terbitan Prancis, justru Imunisasi sudah tidak populer di Amerika Serikat, dan terus berusaha dihilangkan dan tidak dipergunakan lagi, bahkan di Israel Imunisasi telah di STOP samasekali, padahal kita tahu negara-negara itu merupakan pelopor “industri”, imunisasi.
Menurut pengalaman saya jumlah kadar/isi setiap pipet/tabung imunisasi semua sama, jadi imunisasi tidak melihat berdasarkan berat tubuh/perbedaan Ras/warna kulit, padahal kalau Obat/Imunisasi itu Impor, tentulah kadarnya disesuaikan dengan berat/fisik orang Luar (Barat) yang jelas lebih basar dan kuat fisiknya dibanding orang Asia, namun kita malah sama-sama menggunakan dengan takaran yang sama. (akibatnya overdosis).
- Jika tidak “urgent” sekali, hindari rawat inap di RS, karena banyak prosedur/step-step pengobatan yang akhirnya akan melemahkan tubuh pasiennya. (Contoh: keharusan berpuasa, pemasangan infus, pengambilan darah yang terus menerus, foto Rontgen, operasi, kemoteraphy, dsb). Jikalau perlu coba dulu dengan cara pengobatan alternatif/tradisional.
- Jika perlu dengan tegas untuk menolak suatu tindakan medis yang akan dilakukan RS, jika kita yakini manfaatnya tidak benar-benar berpengaruh terhadap kesembuhan pasien.
- Jika perlu lakukan 2nd opinion pada RS/dokter lain yang setara/lebih baik.
- Banyak tanya, biarlah kita dibilang “bawel”, tanyalah setiap tindakan medis yang akan dilakukan, mengapa akan di lakukan, akibat-akibatnya, ada tidak cara-cara lain/alternatif lain yang lebih baik/tidak terlalu menyakiti pasien.
- Terus temani pasien (bisa bergantian dengan keluarga yang lain), karena setiap saat bisa ada tindakan medis yang memerlukan persetujuan, dan cermati semua pekerjaan perawatannya, jika ada yang habis/kurang jangan sungkan melaporkan ke tenaga medis yang ada segera.
- Terus berdoa, karena segala sesuatunya telah ditetapkan oleh “Yang Maha Kuasa”, manusia hanya bisa ikhtiar dan berusaha.
Diambil
dari Forum Diskusi:
Aku membunuh anakku dengan Imunisasi
Reviewed by Unknown
on
11:51 PM
Rating:
No comments:
sempatkan untuk komentar bentar ya... ;)