Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu
hukum yang sudah ada pada zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangannya,
ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga
sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa
taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu pula
(kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali. Karena tidak bisa
dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan kehidupan
yang semakin kompleks problematikanya.
Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan
madzab dalam hukum Islam yang itu disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa
dipetakan Islam kontemporer seperti Islam liberal, fundamental, ekstrimis,
moderat, dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak lepas dari hasil ijtihad dan
sudah tentu masing-masing mujtahid berupaya untuk menemukan hukum yang terbaik,
dengan ijtihad, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok dalam segala
lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan ijtihad pula, syariat Islam menjadi
“tidak bisu” dalam menghadapi problematika kehidupan yang semakin kompleks.
Ijtihad berasal dari kata jahada.
Artinya mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban kesulitan. Menurut
bahasa, ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan dalam segala perbuatan.
Dalam ushul fiqh, para ulama ushul fiqh mendefinisikan ijtihad secara
berbeda-beda. Misalnya Imam as-Syaukani mendefinisikan ijtihad adalah
mencurahkan kemampuan guna mendapatkan hukum syara’ yang bersifat operasional
dengan cara istinbat (mengambil kesimpulan hukum.Sementara Imam al-Amidi mengatakan bahwa
ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang
bersifat dhonni, sampai merasa dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan
kemampuannya itu. Sedangkan imam al-Ghazali menjadikan
batasan tersebut sebagai bagian dari definisi al-ijtihad attaam
(ijtihad sempurna).
Imam Syafi’I menegaskan bahwa seseorang
tidak boleh mengatakan tidak tahu terhadap permasalahan apabila ia belum
melakukan dengan sungguh-sungguh dalam mencari sumber hukum dalam permasalahan
tersebut. Demikian juga, ia tidak boleh mengatakan tahu sebelum ia
sungguh-sungguh menggali sumber hukum dengan sepenuh tenaga. Imam Syafi-I
hendak menyimpulkan bahwa dalam berijtihad hendaklah dilakukan dengan
sungguh-sungguh. Artinya, mujtahid juga harus memiliki kemampuan dari berbagai
aspek criteria seorang mujtahid agar hasil ijtihadnya bisa menjadi pedoman bagi
orang banyak.
Ahli ushul fiqh menambahkan kata-kata al-faqih
dalam definisi tersebut sehingga definisi ijtihad adalah pencurahan seorang
faqih akan semua kemampuannya. Sehingga Imam Syaukani memberi komentar bahwa
penambahan faqih tersebut merupakan suatu keharusan. Sebab pencurahan
yang dilakukan oleh orang yang bukan faqih tidak disebut ijtihad menurut
istilah.
Dalam definisi lain, dikatakan bahwa ijtihad
yaitu mencurahkan seluruh kemampuan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan
istinbat (mengeluarkan hukum) dari Kitabullah dan Sunah Rasul. Menurut kelompok
mayoritas, ijtihad merupakan pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli
fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian terhadap sesuatu hukum syara’.
Jadi, yang ingin dicapai oleh ijtihad yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan
tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa. Ulama telah bersepakat bahwa
ijtihad dibenarkan, serta perbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad
ditolerir, dan akan membawa rahmat saat ijtihad dilakukan oleh yang memenuhi
persyaratan dan dilakukan di medannya (majalul ijtihad).
Kriteria mujtahid
Seseorang yang menggeluti bidang fiqh tidak bisa sampai ke tingkat
mujtahid kecuali dengan memenuhi beberapa syarat, sebagian persyaratan itu ada
yang telah disepakati, dan sebagian yang lain masih diperdebatkan. Adapun
syarat-syarat yang telah disepakati adalah:
a.
Mengetahui al-Quran
Al-Qur’an adalh sumber
hukum Islam primer di mana sebagai fondasi dasar hukum Islam. Oleh karena itu,
seorang mujtahid harus mengetahui al-Qur’an secara mendalam. Barangsiapa yang
tidak mengerti al-Qur’an sudah tentu ia tidak mengerti syariat Islam secara
utuh. Mengerti al-Qur’an tidak cukup dengan piawai membaca, tetapi juga bisa melihat
bagaimana al-Qur’an memberi cakupan terhadap ayat-ayat hukum. Misalnya
al-Ghazali memberi syarat seorang mujtahid harus tahu ayat-ayat ahkam berjumlah
sekitar 500 ayat.
b.
Mengetahui Asbab al-nuzul
Mengetahui sebab turunnya ayat termasuk
dalam salah satu syarat mengatahui al-Qur’an secara komprehensif, bukan hanya
pada tataran teks tetapi juga akan mengetahui secara sosial-psikologis. Sebab
dengan mengetahui sebab-sebab turunnya ayat akan memberi analisis yang
komprehensif untuk memahami maksud diturunkannya teks Quran tersebut kepada
manusia.
Imam as-Syatibi dalam bukunya al-Muwafaqaat
mengatakan bahwa mengetahui sebab turunnya ayat adalah suatu keharusan bagi
orang yang hendak memahami al-Qur’an. Pertama, suatu pembicaraan akan berbeda
pengertiannya menurut perbedaan keadaan. Kedua, tidak mengetahui sebab turunnya
ayat bisa menyeret dalam keraguan dan kesulitan dan juga bisa membawa pada
pemahaman global terhadap nash yang bersifat lahir sehingga sering menimbulkan
perselisihan.
c.
Mengetahui nasikh dan mansukh
Pada dasarnya hal ini bertujuan untuk
menghindari agar jangan sampai berdalih menguatkan suatu hukum dengan ayat yang
sebenarnya telah dinasikhkan dan tidak bisa dipergunakan untuk dalil.
d.
Mengetahui as-sunnah
Syarat mujtahid selanjutnya adalah ia harus
mengetahui as-Sunnah. Yang dimaksudkan as-Sunnah adalah ucapan, perbuatan atau
ketentuan yang diriwayatkan dari Nabi SAW.
e.
Mengetahui ilmu diroyah hadits
Ilmu diroyah menurut al-Ghazali adalah
mengetahui riwayat dan memisahkan hadis yang shahih dari yang rusak dan hadis
yang bisa diterima dari hadis yang ditolak. Seorang mujtahid harus mengetahui
pokok-pokok hadis dan ilmunya, mengenai ilmu tentang para perawi hadis,
syarat-syarat diterima atau sebab-sebab ditolaknya suatu hadis, tingkatan kata
dalam menetapkan adil dan cacatnya seorang perawi hadis, dan lain hal-hal yang
tercakup dalam ilmu hadis, kemudian mengaplikasikan pengetahuan tadi dalam
menggunakan hadis sebagai dasar hukum.
f.
Mengetahui hadis yang nasikh
dan mansukh
Mengetahui hadis yang nasikh dan mansukh ini
dimaksudkan agar seorang mujtahid jangan sampai berpegang pada suatu hadis yang
sudah jelas dihapus hukumnya dan tidak boleh dipergunakan. Seperti hadis yang
membolehkan nikah mut’ah di mana hadis tersebut sudah dinasakh secara pasti
oleh hadis-hadis lain.
g.
Mengetahui asbab al-wurud hadis
Syarat ini sama dengan seorang mujtahid yang
seharusnya menguasai asbab al-nuzul, yakni mengetahui setiap kondisi, situasi, sebab-
sebab hadis tersebut ada.
h.
Mengetahui bahasa Arab
Seorang mujtahid wajib mengetahui bahasa
Arab dalam rangka agar penguasaannya pada objek kajian lebih mendalam, teks
otoritatif Islam menggunakan bahasa Arab. Hal ini tidak lepas dari bahwa teks
otoritatif Islam itu diturunkan menggunakan bahasa Arab.
i.
Mengetahui tempat-tempat ijma’
Bagi seorang mujtahid, harus mengetahui
hukum-hukum yang telah disepakati oleh para ulama, sehingga tidak terjerumus
memberi fatwa yang bertentangan dengan hasil ijma’. Sebagaimana ia harus
mengetahui nash-nash dalil guna menghindari fatwa yang berseberangan dengan
nash tersebut. Namun menurut hemat penulis, seorang mujtahid bisa bertentangan
dengan ijma’ para ulama selama hasil ijtihadnya maslahat bagi manusia.
j.
Mengetahui ushul fiqh
Di antara ilmu yang harus dikuasai oleh
mujtahid adalah ilmu ushul fiqh, yaitu suatu ilmu yang telah diciptakan oleh
para fuqaha utuk meletakkan kaidah-kaidah dan cara untuk mengambil istimbat
hukum dari nash dan mencocokkan cara pengambilan hukum yang tidak ada nash
hukumnya. Dalam ushul fiqh, mujtahid juga dituntut untuk memahami qiyas sebagai
modal pengambilan ketetapan hukum.
k.
Mengetahui maksud dan tujuan
syariah
Sesungguhnya syariat Islam diturunkan untuk
melindungi dan memelihara kepentingan manusia. Pemeliharaan ini dikategorikan
dalam tiga tingkatan maslahat, yakni dlaruriyyat (apabila dilanggar akan
mengancam jiwa, agama, harta, akal, dan keturunan), hajiyyat (kelapangan hidup,
missal memberi rukshah dalam kesulitan), dan tahsiniat (pelengkap yang terdiri
dari kebiasaan dan akhlak yang baik).
l.
Mengenal manusia dan kehidupan
sekitarnya
Seorang mujtahid harus mengetahui tentang
keadaan zamannya, masyarakat, problemnya, aliran ideologinya, politiknya,
agamanya dan mengenal hubungan masyarakatnya dengan masyarakat lain serta
sejauh mana interaksi saling mempengaruhi antara masyarakat tersebut.
m.
Bersifat adil dan taqwa
Hal ini bertujuan agar produk hukum yang
telah diformulasikan oleh mujtahid benar-benar proporsional karena memiliki
sifat adil, jauh dari kepentingan politik dalam istinmbat hukumnya.
n.
Adapun ketentuan-ketentuan yang
masih dipersilihkan adalah mengetahui ilmu ushuluddin, ilmu mantiq, dan
mengetahui cabang-cabang fiqh.
IJTIHAD
Reviewed by King Denie
on
6:37 PM
Rating:
No comments:
sempatkan untuk komentar bentar ya... ;)