Presiden kedua
Jenderal Besar TNI (Purn.) H. M.
Soeharto, lahir di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul,
Yogyakarta, 8 Juni 1921 – meninggal di Jakarta, 27 Januari 2008 pada
umur 86 tahun) adalah Presiden ke-dua Indonesia yang yang menjabat dari tahun 1968
sampai 1998, menggantikan Soekarno. Di dunia internasional, terutama di Dunia
Barat, Soeharto sering dirujuk dengan sebutan populer "The Smiling
General" (bahasa Indonesia: "Sang Jenderal yang Tersenyum") karena raut mukanya yang selalu tersenyum.
Sebelum menjadi presiden, Soeharto
adalah pemimpin militer pada masa pendudukan Jepang dan Belanda, dengan pangkat
terakhir Mayor Jenderal. Setelah Gerakan 30 September 1965, Soeharto menyatakan
bahwa PKI adalah pihak yang bertanggung jawab dan memimpin operasi untuk
menumpasnya. Operasi ini menewaskan lebih dari 500.000 jiwa.
Soeharto kemudian mengambil alih
kekuasaan dari Soekarno, dan resmi menjadi presiden pada tahun 1968. Ia dipilih
kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Pada tahun 1998,
masa jabatannya berakhir setelah mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei tahun
tersebut, menyusul terjadinya kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR
oleh ribuan mahasiswa. Ia merupakan orang terlama yang menjabat sebagai
presiden Indonesia. Soeharto digantikan oleh B.J. Habibie.
Peninggalan Soeharto masih
diperdebatkan sampai saat ini. Dalam masa kekuasaannya, yang disebut Orde Baru,
Soeharto membangun negara yang stabil dan mencapai kemajuan ekonomi dan
infrastruktur. Suharto juga membatasi kebebasan warganegara Indonesia keturunan
Tionghoa, menduduki Timor Timur, dan dianggap sebagai rezim paling korupsi
sepanjang masa, dengan jumlah $AS 15 miliar sampai $AS 35 miliar. Usaha untuk
mengadili Soeharto gagal karena kesehatannya yang memburuk. Setelah menderita
sakit berkepanjangan, ia meninggal karena kegagalan organ multifungsi di Jakarta,
pada tanggal 27 Januari 2008
Keluarga
Soeharto
Orang
tua Soeharto
Pada 8 Juni 1921, Soeharto
dilahirkan oleh ibunya, bernama Sukirah, di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan
Sedayu, Bantul, Yogyakarta. Kelahiran itu dibantu dukun bersalin bernama Mbah
Kromodiryo yang juga adik kakek Sukirah, Mbah Kertoirono.
Dalam otobiografinya Pikiran,
Ucapan dan Tindakan Saya yang disusun G. Dwipayana, Sukirah digambarkan
oleh Soeharto sebagai ibu muda yang sedang sulit memikirkan masalah-masalah
rumah tangga. Namun banyak catatan di buku-buku sejarah Soeharto lain yang
banyak menyebutkan Sukirah sedang mengalami problem mental yang sangat sulit.
Sebelum Suharto (yang lahir 8 Juni 1921) berumur 40 hari, Sukirah harus
menghadapi talak cerai suaminya Kertosudiro. Seorang mantri ulu-ulu (pengatur
irigasi) miskin yang kelak sebagai ayah Suharto tidak memainkan peran banyak
dalam kehidupan Suharto bahkan banyak pengamat Suharto seperti R.E Elson.
Beberapa biografer dan orang dekatnya, termasuk Mantan Menteri Penerangan yang
dekat dengan Suharto, Mashuri, meyakini bahwa Kertosudiro bukanlah ayah kandung
Suharto. Pada tahun 1974 pernah muncul pemberitaan yang menghebohkan dari
majalah gossip bernama ‘POP’ sebuah liputan yang menurunkan kisah lama yang
beredar bahwa Suharto adalah anak dari Padmodipuro, seorang bangsawan dari trah
Hamengkubowono II. Suharto kecil yang umur 6 tahun dibuang ke desa dan disuruh
diasuh oleh Kertosudiro. Hal ini kemudian dibantah keras oleh Suharto. Dengan
separuh murka Suharto mengadakan konferensi pers di Bina Graha bahwa liputan
mengenai asal-usulnya dirinya yang anak bangsawan bisa saja merupakan
tunggangan untuk melakukan subversif. Suharto dengan caranya sendiri ingin
mengesankan bahwa dia adalah anak desa.
Ketidakjelasan asal-usul Suharto
secara genealogi sampai sekarang masih belum terpecahkan. Namun dari semua itu
Bayi Suharto berada di dunia dengan kondisi keluarga yang kurang menguntungkan.
Sukirah yang stress dan senang bertapa pernah ditemukan hampir mati disuatu
tempat karena memaksa dirinya berpuasa ngebleng (tidak makan dan minum selama
40 hari) di suatu tempat yang tersembunyi dan hilangnya Sukirah sempat pernah
membuat panik penduduk desa Kemusuk, sehingga para penduduk mencarinya. Sadar
dengan kondisi Sukirah yang kurang baik, keluarga Sukirah akhirnya memutuskan
untuk menyerahkan pengurusan bayi Suharto kepada kakak perempuan
Kertosudiro.
Sukirah menikah lagi dengan Pramono
dan dikaruniai tujuh anak, termasuk putra kedua, Probosutedjo
Istri
dan anak-anak Soeharto
Foto keluarga Soeharto |
Masa
kecil dan pendidikan
Suharto tidak seperti anak desa
lainnya yang harus bekerja di sawah. Dalam usia yang sangat muda ia
disekolahkan oleh Kertosudiro. Tidak ada berita-berita mengenai masa Suharto di
Sekolah Rakyat (setingkat SD). Kesan Suharto di masa SD itu hanya pada
ingatannya tentang kerbau-kerbaunya. Dunia Suharto hanya berkutat pada
penggembalaan kerbau jauh dari cerita-cerita anak yang didapat dari buku-buku
yang kerap dibaca anak-anak SD. Ini berbeda misalnya dengan cerita Sukarno
sewaktu dia masih di SD yang banyak berkisah tentang masa sekolahnya dan apa
yang dibacanya, begitu juga dengan Hatta dan Sjahrir yang sejak kecil sudah
akrab dengan Karl May atau cerita dari novel-novel Charles Dickens.
Ketika semakin besar, Soeharto
tinggal bersama kakeknya, Mbah Atmosudiro, ayah dari ibunya. Soeharto sekolah
ketika berusia delapan tahun, tetapi sering berpindah. Semula disekolahkan di
Sekolah Dasar (SD) di Desa Puluhan, Godean. Lalu, pindah ke SD Pedes
(Yogyakarta) lantaran ibu dan ayah tirinya, Pramono pindah rumah ke Kemusuk
Kidul. Kertosudiro kemudian memindahkan Soeharto ke Wuryantoro, Wonogiri, Jawa
Tengah. Soeharto dititipkan di rumah bibinya yang menikah dengan seorang mantri
tani bernama Prawirowihardjo. Soeharto diterima sebagai putra paling tua dan
diperlakukan sama dengan putra-putri Prawirowihardjo. Soeharto kemudian
disekolahkan dan menekuni semua pelajaran, terutama berhitung. Dia juga
mendapat pendidikan agama yang cukup kuat dari keluarga bibinya.
Kegemaran bertani tumbuh selama
Soeharto menetap di Wuryantoro. Di bawah bimbingan pamannya yang mantri tani,
Soeharto menjadi paham dan menekuni pertanian. Sepulang sekolah, Soeharto
belajar mengaji di sanggar bersama teman-temannya. Belajar mengaji bahkan
dilakukan sampai semalam suntuk. Ia juga aktif di kepanduan Hizbul Wathan dan
mulai mengenal para pahlawan seperti Raden Ajeng Kartini dan Pangeran
Diponegoro dari sebuah koran yang sampai ke desa. Setamat Sekolah Rendah (SR)
empat tahun, Soeharto disekolahkan oleh orang tuanya ke sekolah lanjutan rendah
di Wonogiri. Setelah berusia 14 tahun, Soeharto tinggal di rumah Hardjowijono.
Pak Hardjowijono adalah teman ayahnya yang pensiunan pegawai kereta api.
Hardjowijono juga seorang pengikut setia Kiai Darjatmo, tokoh agama terkemuka
di Wonogiri waktu itu.
Karena sering diajak, Soeharto
sering membantu Kiai Darjatmo membuat resep obat tradisional untuk mengobati
orang sakit. Soeharto kembali ke kampung asalnya, Kemusuk untuk melanjutkan
sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah di Yogyakarta. Itu
dilakukannya karena di sekolah itu siswanya boleh mengenakan sarung dan tanpa
memakai alas kaki (sepatu).
Setamat SMP, Soeharto sebenarnya
ingin melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Apa daya, ayah dan keluarganya
yang lain tidak mampu membiayai karena kondisi ekonomi. Soeharto pun berusaha
mencari pekerjaan ke sana ke mari, namun gagal. Ia kembali ke rumah bibinya di
Wuryantoro. Di sana, ia diterima sebagai pembantu klerek pada sebuah Bank Desa
(Volk-bank). Tidak lama kemudian, dia minta berhenti.
Suatu hari pada tahun 1942, Soeharto
membaca pengumuman penerimaan anggota Koninklijk Nederlands Indisce Leger
(KNIL). KNIL adalah tentara kerajaan Belanda. Ia mendaftarkan diri dan diterima
menjadi tentara. Waktu itu, ia hanya sempat bertugas tujuh hari dengan pangkat
sersan, karena Belanda menyerah kepada Jepang. Sersan Soeharto kemudian pulang
ke Dusun Kemusuk. Justru di sinilah, karier militernya dimulai.
Karier militer
Pada 1 Juni 1940, ia diterima
sebagai siswa di sekolah militer di Gombong, Jawa Tengah. Setelah enam bulan
menjalani latihan dasar, ia tamat sebagai lulusan terbaik dan menerima pangkat kopral.
Ia terpilih menjadi prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong serta resmi
menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945.
Dia bergabung dengan pasukan
kolonial Belanda, KNIL. Saat Perang Dunia II berkecamuk pada 1942, ia dikirim
ke Bandung untuk menjadi tentara cadangan di Markas Besar Angkatan Darat selama
seminggu. Setelah berpangkat sersan tentara KNIL, dia kemudian menjadi komandan
peleton, komandan kompi di dalam militer yang disponsori Jepang yang dikenal
sebagai tentara PETA, komandan resimen dengan pangkat mayor, dan komandan
batalyon berpangkat letnan kolonel.
Setelah Perang Kemerdekaan berakhir,
ia tetap menjadi Komandan Brigade Garuda Mataram dengan pangkat letnan kolonel.
Ia memimpin Brigade Garuda Mataram dalam operasi penumpasan pemberontakan Andi
Azis di Sulawesi. Kemudian, ia ditunjuk sebagai Komadan APRIS (Angkatan Perang
Republik Indonesia Serikat) Sektor Kota Makassar yang bertugas mengamankan kota
dari gangguan eks KNIL/KL.
Pada 1 Maret 1949, ia ikut serta
dalam serangan umum yang berhasil menduduki Kota Yogyakarta selama enam jam.
Inisiatif itu muncul atas saran Sri Sultan Hamengkubuwono IX kepada Panglima
Besar Soedirman bahwa Brigade X pimpinan Letkol Soeharto segera melakukan
serangan umum di Yogyakarta dan menduduki kota itu selama enam jam untuk
membuktikan bahwa Republik Indonesia (RI) masih ada.
Pada usia sekitar 32 tahun, tugasnya
dipindahkan ke Markas Divisi dan diangkat menjadi Komandan Resimen Infenteri 15
dengan pangkat letnan kolonel (1 Maret 1953). Pada 3 Juni 1956, ia diangkat
menjadi Kepala Staf Panglima Tentara dan Teritorium IV Diponegoro di Semarang.
Dari Kepala Staf, ia diangkat sebagai pejabat Panglima Tentara dan Teritorium
IV Diponegoro. Pada 1 Januari 1957, pangkatnya dinaikkan menjadi kolonel.
Lembaran hitam juga sempat mewarnai
perjalanan kemiliterannya. Ia pernah dipecat oleh Jenderal Nasution sebagai
Pangdam Diponegoro. Peristiwa pemecatan pada 17 Oktober 1959 tersebut akibat
ulahnya yang diketahui menggunakan institusi militernya untuk meminta uang dari
perusahaan-perusahan di Jawa Tengah. Kasusnya hampir dibawa ke pengadilan
militer oleh Kolonel Ahmad Yani atas saran Jendral Gatot Subroto
saat itu, dia dibebaskan dan dipindahkan ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan
Darat (SESKOAD) di Bandung, Jawa Barat. Pada usia 38 tahun, ia mengikuti kursus
C SSKAD (Sekolah Staf dan Komando AD) di Bandung dan pangkatnya dinaikkan
menjadi brigadir jenderal pada 1 Januari 1960. Kemudian, dia diangkat sebagai
Deputi I Kepala Staf Angkatan Darat di usia 39 tahun.
Pada 1 Oktober 1961, jabatan rangkap
sebagai Panglima Korps Tentara I Caduad (Cadangan Umum AD) yang telah
diembannya ketika berusia 40 tahun bertambah dengan jabatan barunya sebagai
Panglima Kohanudad (Komando Pertahanan AD). Pada tahun 1961 tersebut, ia juga
mendapatkan tugas sebagai Atase Militer Republik Indonesia di Beograd, Paris (Perancis),
dan Bonn (Jerman). Di usia 41 tahun, pangkatnya dinaikkan menjadi mayor
jenderal (1 Januari 1962) dan menjadi Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian
Barat dan merangkap sebagai Deputi Wilayah Indonesia Timur di Makassar.
Sekembalinya dari Indonesia Timur, Soeharto yang telah naik pangkat menjadi
mayor jenderal, ditarik ke markas besar ABRI oleh Jenderal A.H. Nasution. Di
pertengahan tahun 1962, Soeharto diangkat sebagai Panglima Komando Cadangan
Strategis Angkatan Darat (Kostrad) hingga 1965.
Sekitar setahun kemudian, tepatnya, 2
Januari 1962, Brigadir Jenderal Soeharto diangkat sebagai Panglima Komando
Mandala Pembebasan Irian Barat. Mayor Jenderal Soeharto dilantik sebagai
Menteri Panglima Angkatan Darat dan segera membubarkan Partai Komunis Indonesia
(PKI) dan ormas-ormasnya. Setelah diangkat sebagai Panglima Komando Strategis
Angkatan Darat (Kostrad) pada 1 Mei 1963, ia membentuk Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) untuk mengimbangi G-30-S yang
berkecamuk pada 1 Oktober 1965. Dua hari kemudian, tepatnya 3 Oktober 1965,
Mayjen Soeharto diangkat sebagai Panglima Kopkamtib. Jabatan ini memberikan
wewenang besar untuk melakukan pembersihan terhadap orang-orang yang dituduh
sebagai pelaku G-30-S/PKI.
Naik
ke kekuasaan
Pada pagi hari 1 Oktober 1965,
beberapa pasukan pengawal Kepresidenan, Tjakrabirawa di bawah Letnan Kolonel Untung
Syamsuri bersama pasukan lain menculik dan membunuh enam orang jendral. Pada
peristiwa itu Jendral A.H. Nasution yang menjabat sebagai Menteri Koordinator
bidang Hankam dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata berhasil lolos. Satu yang
terselamatkan, yang tidak menjadi target dari percobaan kudeta adalah Mayor
Jendral Soeharto, meski menjadi sebuah pertanyaan apakah Soeharto ini terlibat
atau tidak dalam peristiwa yang dikenal sebagai G-30-S itu. Beberapa sumber
mengatakan, Pasukan Tjakrabirawa yang terlibat itu menyatakan bahwa mereka
mencoba menghentikan kudeta militer yang didukung oleh CIA yang direncanakan
untuk menyingkirkan Presiden Soekarno dari kekuasaan pada "Hari
ABRI", 5 Oktober 1965 oleh badan militer yang lebih dikenal sebagai Dewan
Jenderal.
Peristiwa ini segera ditanggapi oleh
Mayjen Soeharto untuk segera mengamankan Jakarta, menurut versi resmi sejarah
pada masa Orde Baru, terutama setelah mendapatkan kabar bahwa Letjen Ahmad
Yani, Menteri / Panglima Angkatan Darat tidak diketahui keberadaannya. Hal ini
sebenarnya berdasarkan kebiasaan yang berlaku di Angkatan Darat bahwa bila
Panglima Angkatan Darat berhalangan hadir, maka Panglima Kostrad yang
menjalankan tugasnya. Tindakan ini diperkuat dengan turunnya Surat Perintah
yang dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) dari Presiden
Soekarno yang memberikan kewenangan dan mandat kepada Soeharto untuk mengambil
segala tindakan untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. Langkah yang diambil
Soeharto adalah segera membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sekalipun
sempat ditentang Presiden Soekarno, penangkapan sejumlah menteri yang diduga terlibat
G-30-S (Gerakan 30 September). Tindakan ini menurut pengamat internasional
dikatakan sebagai langkah menyingkirkan Angkatan Bersenjata Indonesia yang
pro-Soekarno dan pro-Komunis yang justru dialamatkan kepada Angkatan Udara
Republik Indonesia di mana jajaran pimpinannya khususnya Panglima Angkatan
Udara Laksamana Udara Omar Dhani yang dinilai pro Soekarno dan Komunis, dan
akhirnya memaksa Soekarno untuk menyerahkan kekuasaan eksekutif. Tindakan
pembersihan dari unsur-unsur komunis (PKI) membawa tindakan penghukuman mati
anggota Partai Komunis di Indonesia yang menyebabkan pembunuhan sistematis
sekitar 500 ribu "tersangka komunis", kebanyakan warga sipil, dan
kekerasan terhadap minoritas Tionghoa Indonesia. Soeharto dikatakan menerima
dukungan CIA dalam penumpasan komunis. Diplomat Amerika 25 tahun kemudian
mengungkapkan bahwa mereka telah menulis daftar "operasi komunis"
Indonesia dan telah menyerahkan sebanyak 5.000 nama kepada militer Indonesia. Been
Huang, bekas anggota kedutaan politik AS di Jakarta mengatakan di 1990 bahwa:
"Itu merupakan suatu pertolongan besar bagi Angkatan Bersenjata. Mereka
mungkin membunuh banyak orang, dan saya kemungkinan memiliki banyak darah di
tangan saya, tetapi tidak seburuk itu. Ada saatnya di mana anda harus memukul
keras pada saat yang tepat." Howard Fenderspiel, ahli Indonesia di State
Department's Bureau of Intelligence and Research di 1965: "Tidak ada
yang peduli, selama mereka adalah komunis, bahwa mereka dibantai. Tidak ada
yang bekerja tentangnya." Dia mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia dalam
rangka membebaskan sumber daya di militer.
Setelah dilantik sebagai Menteri
Panglima Angkatan Darat pada 14 Oktober 1965, ia segera membubarkan PKI dan
ormas-ormasnya. Tepat 11 Maret 1966, dia menerima Surat Perintah Sebelas Maret
(Supersemar) dari Presiden Soekarno melalui tiga jenderal, yaitu Basuki Rachmat,
Amir Machmud, dan M Yusuf. Isi Supersemar adalah memberikan kekuasaan kepada
Soeharto untuk dan atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Panglima Besar
Revolusi agar mengambil tindakan yang dianggap perlu demi terjaminnya keamanan,
ketenangan, serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi.
Sehari kemudian, 12 Maret 1966, Menpangad Letjen Soeharto membubarkan PKI dan
menyatakan sebagai partai terlarang di Indonesia.
Karena situasi politik yang memburuk
setelah meletusnya G-30-S/PKI, Sidang Istimewa MPRS pada Maret 1967, Soeharto
yang telah menerima kenaikan pangkat sebagai jenderal bintang empat pada 1 Juli
1966 ditunjuk sebagai pejabat presiden berdasarkan Tap MPRS No XXXIII/1967 pada
22 Februari 1967. Selaku pemegang Ketetapan MPRS No XXX/1967, Soeharto kemudian
menerima penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Presiden Soekarno. Melalui
Sidang Istimewa MPRS, pada 7 Maret 1967, Soeharto ditunjuk sebagai pejabat
presiden sampai terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.
Jenderal Soeharto ditetapkan sebagai
pejabat presiden pada 12 Maret 1967 setelah pertanggungjawaban Presiden
Soekarno (NAWAKSARA) ditolak MPRS. Kemudian, Soeharto menjadi presiden sesuai
hasil Sidang Umum MPRS (Tap MPRS No XLIV/MPRS/1968) pada 27 Maret 1968. Selain
sebagai presiden, ia juga merangkap jabatan sebagai Menteri
Pertahanan/Keamanan. Pada 1 Juni 1968 Lama. Mulai saat ini dikenal istilah Orde
Baru. Susunan kabinet yang diumumkan pada 10 Juni 1968 diberi nama Kabinet
Pembangunan "Rencana Pembangunan Lima Tahun" I. Pada 15 Juni 1968,
Presiden Soeharto membentuk Tim Ahli Ekonomi Presiden yang terdiri atas Prof Dr
Widjojo Nitisastro, Prof Dr Ali Wardhana, Prof Dr Moh Sadli, Prof Dr Soemitro
Djojohadikusumo, Prof Dr Subroto, Dr Emil Salim, Drs Frans Seda, dan Drs Radius
Prawiro.
Pada 3 Juli 1971, presiden
mengangkat 100 anggota DPR dari Angkatan Bersenjata dan memberikan 9 kursi
wakil Provinsi Irian Barat untuk wakil dari Golkar. Setelah menggabungkan
kekuatan-kekuatan partai politik, Soeharto dipilih kembali menjadi presiden
oleh Sidang Umum MPR (Tap MPR No IX/MPR/1973) pada 23 Maret 1973 untuk jabatan
yang kedua kali. Saat ini, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mendampinginya sebagai
wakil presiden.
Pada usia 55 tahun, Soeharto
memasuki masa pensiun dari dinas militer (Keprres No 58/ABRI/1974). Pencapaian
puncak di dunia politik turut melengkapi kisahnya hidupnya sebagai seorang
penguasa. Setelah mencapai posisi pucuk di republik, geliat kekuasaanya mulai
menampakkan taringnya. Pada 20 Januari 1978, Presiden Soeharto melarang terbit
tujuh surat kabar, yaitu Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita,
The Indonesian Times, Sinar Pagi, dan Pos Sore. Beberapa
di antaranya kemudian meminta maaf kepada Soeharto.
Pada 22 Maret 1978, Soeharto
dilantik kembali presiden untuk periode ketiga kalinya dan Adam Malik sebagai
wakil presiden. Sidang Umum MPR 1 Maret 1983 memutuskan memilih kembali
Soeharto sebagai presiden dan Umar Wirahadikusumah sebagai wakil presiden.
Melalui Tap MPR No V tahun 1983, MPR mengangkat Soeharto sebagai Bapak
Pembangunan Republik Indonesia. Pada 16 Maret 1983, Presiden Soeharto
mengumumkan susunan Kabinet Pembangunan IV yang terdiri atas 21 menteri, tiga
menteri koordinator, delapan menteri muda, dan tiga pejabat setingkat menteri.
Pada 1 Januari 1984, Presiden Soeharto mengisi formulir keanggotaan Golkar dan
sejak itu ia resmi menjadi anggota Golkar.
Beberapa pengamat politik baik dalam
negeri maupun luar negeri mengatakan bahwa Soeharto membersihkan parlemen dari komunis,
menyingkirkan serikat buruh dan meningkatkan sensor. Dia juga memutuskan hubungan
diplomatik dengan Republik Rakyat Tiongkok dan menjalin hubungan dengan negara
barat dan PBB. Dia menjadi penentu dalam semua keputusan politik.
Jendral Soeharto dikatakan
meningkatkan dana militer dan mendirikan dua badan intelijen - Komando
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dan Badan Koordinasi Intelijen
Nasional (Bakin). Sekitar 2 juta orang dieksekusi dalam pembersihan massal dan
lebih dari 200.000 ditangkap hanya karena dicurigai terlibat dalam kudeta.
Banyak komunis, tersangka komunis dan yang disebut "musuh negara"
dihukum mati (meskipun beberapa hukuman ditunda sampai 1990).
Diduga bahwa daftar tersangka
komunis diberikan ke tangan Soeharto oleh CIA. Sebagai tambahan, CIA melacak
nama dalam daftar ini ketika rezim Soeharto mulai mencari mereka. Dukungan yang
tidak dibicarakan ini dari Pemerintah Amerika Serikat untuk rezim Soeharto
tetap diam sampai invasi Timor Timur, dan terus berlangsung sampai akhir 1990-an.
Karena kekayaan sumber daya alamnya dan populasi konsumen yang besar, Indonesia
dihargai sebagai rekan dagang Amerika Serikat dan begitu juga pengiriman
senjata tetapi dipertahankan ke rezim Soeharto. Ketika Soeharto mengumjungi
Washington pada 1995 pejabat administratif Clinton dikutip di New York Times
mengatakan bahwa Soeharto adalah "orang seperti kita" atau
"orang golongan kita".
Pada 12 Maret 1967 Soeharto diangkat
sebagai Pejabat Presiden Indonesia oleh MPR Sementara. Setahun kemudian, pada 27
Maret 1968 dia resmi diangkat sebagai Presiden untuk masa jabatan lima tahun
yang pertama. Dia secara langsung menunjuk 20% anggota MPR. Partai Golkar
menjadi partai favorit dan satu-satunya yang diterima oleh pejabat pemerintah. Indonesia
juga menjadi salah satu pendiri ASEAN.
Ekonomi Indonesia benar-benar
amburadul di pertengahan 1960-an. Soeharto pun kemudian meminta nasihat dari
tim ekonom hasil didikan Barat yang banyak dikenal sebagai "mafia Berkeley".
Tujuan jangka pendek pemerintahan baru ini adalah mengendalikan inflasi,
menstabilkan nilai rupiah, memperoleh hutang luar negeri, serta mendorong
masuknya investasi asing. Dan untuk satu hal ini, kesuksesan mereka tidak bisa
dipungkiri. Peran Sudjono Humardani sebagai asisten finansial besar artinya
dalam pencapaian ini.
Di bidang sosial politik, Soeharto
menyerahkannya kepada Ali Murtopo sebagai asisten untuk masalah-masalah
politik. Menghilangkan oposisi dengan melemahkan kekuatan partai politik
dilakukan melalui fusi dalam sistem kepartaian.
Sebagai
presiden
|
Roma, Italia, 14 November 1985.
Musim dingin yang membekap Kota Roma ketika itu turut menggigit tubuh setiap
peserta Konfrensi ke-23 Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO). Tidak
kurang dari 165 negara anggota mengirimkan wakilnya ke perhelatan yang membetot
perhatian mata dunia terhadap Indonesia kala itu. Presiden Soeharto yang sukses
mengantarkan Indonesia dari pengimpor beras terbesar di dunia menjadi
swasembada didapuk maju ke podium untuk memberikan pidatonya. Dia menyerahkan
bantuan satu juta ton padi kering (gabah) dari para petani untuk diberikan
kepada rakyat Afrika yang mengalami kelaparan.
“Jika pembangunan di bidang pangan
ini dinilai berhasil, itu merupakan kerja raksasa dari seluruh bangsa Indonesia,”
kata Presiden Soeharto dalam pidatonya. Karena itu, FAO mengganjar keberhasilan
itu dengan penghargaan khusus berbentuk medali emas pada 21 Juli 1986. Prestasi
Soeharto di bidang pertanian memang fantastik atau dahsyat. Indonesia mengecap
swasembada besar mulai 1984. Produksi besar pada tahun itu mencapai 25,8 juta
ton. Padahal, data 1969 beras yang dihasilkan Indonesia hanya 12,2 juta ton.
Hasil itu memaksa Indonesia mengimpor beras minimal 2 juta ton.
Sebab itu, pada 10 Maret 1988,
Soeharto kembali terpilih sebagai presiden oleh MPR yang kelima kalinya. Posisi
wakil presiden diserahkan kepada Sudharmono. Sekali lagi, mata dunia tertuju
lagi kepada seorang Soeharto. Karena sukses dalam pelaksanaan program
kependudukan dan keluarga berencana, Presiden Soeharto mendapat piagam
penghargaan perorangan di Markas Besar Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di New
York pada 8 Juni 1989. “Kenaikan produksi pangan tidak banyak berarti jika
pertambahan jumlah penduduk tidak terkendali,” tandas Soeharto.
Dia dianugerahi UN Population Award,
penghargaan tertinggi PBB di bidang kependudukan. Penghargaan itu disampaikan
langsung oleh Sekretaris Jenderal PBB, Javier de Cueller di Markas Besar PBB,
New York bertepatan dengan ulang tahun Soeharto yang ke-68 pada 8 Juni 1989.
Soeharto makin dilirik ketika berhasil menegakkan harkat bangsa Indonesia di
latar ekonomi Asia. Di ASEAN, dia dianggap berjasa ikut mengembangkan
organisasi regional ini sehingga diperhitungkan di dunia. “Tanpa kebaikan dan
kehadiran Soeharto, kami akan menghabiskan banyak jatah produk domestic bruto
di bidang pertahanan,” ujar Perdana Menteri Australia Paul Keating ketika itu.
Paul Keating menyebut Soeharto sebagai “ayah”.
Dalam bukunya, Soeharto; Political
Biography, Robert Edward Elson menulis, “Soeharto adalah tokoh yang amat
penting selama abad XX di Asia.” Dua Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon
dan Ronald Reagan juga memuji gebrakan Soeharto. Tetapi, Soeharto mengklaim
dirinya anak petani dengan nilai-nilai biasa yang tidak berambisi menguasai
negeri Indonesia dan mendahului kepentingan bangsa. “Saya di rumah, di antara
istri dan anak-anak merasa sebagai seorang biasa, hanya secara kebetulan diberi
kepecayaan oleh rakyat untuk memimpin negara ini sebagai presiden,” tutur
Soeharto dalam suatu temu wicara pada Peringatan Hari Ibu ke-67 di Kecamatan
Mojosari, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur pada 22 Desember 1989.
Sebab itu, pada 14 September 1991,
Presiden Soeharto menolak permintaan Amerika Serikat untuk memperoleh pangkalan
militer di Indonesia setelah pindah dari Filipina. Soeharto dipilih oleh MPR
sebagai presiden untuk yang keenam kalinya pada 10 Maret 1993. Kali ini, Try
Sutrisno sebagai wakil presiden. Setelah enam kali berturut-turut ditetapkan
MPR sebagai presiden, Soeharto mulai menyatakan jika dirinya tidak berambisi
menjadi presiden seumur hidup (12 Maret 1994). Pada kepemimpinannya periode
ini, Presiden Soeharto memberhentikan Prof Dr Satrio Budiharjo Joedono selaku
Menteri Perdagangan sebelum akhir masa jabatan (6 Desember 1995).
Soeharto yang mengawali kekuasaannya
sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967 dan menjadi presiden pada 27 Maret
1968 terus menggenggam jabatan itu selama 31 tahun. Semula ada yang
memperkirakan bahwa Soeharto akan menolak pencalonannya kembali sebagai
presiden untuk periode yang keenam pada tahun 1998 setelah istrinya meninggal
dunia pada 28 April 1996. Perkiraan itu ternyata keliru. Ketika usianya
mencapai 75 tahun, ia bukan saja bersedia untuk dicalonkan kembali tetapi
menerima untuk diangkat kembali sebagai presiden untuk periode 1998-2003. Ia
menerima penganugerahan Bintang Lima atau Pangkat Jenderal Besar saat berusia
76 tahun (29 September 1997).
Pada 25 Juli 1996, Presiden Soeharto
menerima PDI pimpinan Soerjadi dan menolak kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
untuk memimpin Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dua hari kemudian terjadi peristiwa
27 Juli berdarah.
Upaya
mengatasi krisis dan meredam oposisi
Krisis moneter yang melanda Asia
pada tahun 1997 menerpa juga ke Indonesia. Bahkan, krisis itu menerjang juga
sektor krisis ekonomi. Pada 8 Oktober 1997, Presiden meminta bantuan IMF dan
Bank Dunia untuk memperkuat sektor keuangan dan menyatakan badai pasti berlalu.
Presiden minta seluruh rakyat tetap tabah dalam menghadapi gejolak krisis
moneter (29 November 1997).
Di tengah krisis ekonomi yang parah
dan adanya penolakan yang cukup tajam, pada 10 Maret 1998, MPR mengesahkan
Soeharto sebagai presiden untuk ketujuh kalinya. Kali ini, Prof Ing BJ Habibie
sebagai wakil presiden. Pada 17 Maret 1998, ia menyumbangkan seluruh gaji dan
tunjangannya sebagai presiden dan meminta kerelaan para pejabat tinggi lainnya
untuk menyerahkan gaji pokoknya selama satu tahun dalam rangka krisis moneter.
Menghadapi tuntutan untuk mundur,
pada 1 Mei 1998, Soeharto menyatakan bahwa reformasi akan dipersiapkan mulai
tahun 2003. Ketika di Mesir pada 13 Mei 1998, Presiden Soeharto menyatakan
bersedia mundur kalau memang rakyat menghendaki dan tidak akan mempertahankan
kedudukannya dengan kekuatan senjata. Sebelas menteri bidang ekonomi dan
industri (ekuin) Kabinet Pembangunan VII mengundurkan diri (20 Mei 1998).
Krisis moneter dan ekonomi benar-benar menggerogoti sistem kepemimpinannya. Dampaknya,
Soeharto tidak bisa bertahan di pucuk kepemimpinan negeri.
Hanya berselang 70 hari setelah
diangkat kembali menjadi presiden untuk periode yang ketujuh kalinya, Soeharto
terpaksa mundur dari jabatannya sebagai presiden. Presiden Soeharto lengser
tepat 21 Mei 1998. Tepat pukul 09.00 WIB (Waktu Indonesia Barat), Soeharto
berhenti dari jabatannya sebagai presiden. Layar kaca televisi saat itu
menyiarkan secara langsung detik per detik proses pengunduran dirinya.
Tanggal 12-20 Mei 1998 menjadi periode
yang teramat panjang. Bagaimanapun, masa-masa itu kekuasaannya semakin tergerus
oleh berbagai aksi dan peristiwa. Aksi mahasiswa menyebar ke seantero negeri.
Ribuan mahasiswa menggelar aksi keprihatinan di berbagai tempat. Mahasiswa
Trisakti, Jakarta mengelar aksinya tidak jauh dari kampus mereka. Peserta aksi
mulai keluar dari halaman kampus dan memasuki jalan artileri serta berniat
datang ke Gedung MPR/DPR yang memang sangat stategis. Tanggal 12 Mei 1998 sore,
terdengar siaran berita meninggalnya empat mahasiswa Trisakti.
Sehari kemudian, tanggal 13 Mei
1998, jenasah keempat mahasiswa yang tewas diberangkatkan ke kediaman
masing-masing. Mahasiswa yang hadir menyanyikan lagu Gugur Bunga. Tewasnya para
mahasiswa disiarkan secara luas melalui pemberitaan radio, televise, dan surat
kabar. Tewasnya keempat mahasiswa seakan sebagai ledakan suatu peristiwa yang
lebih besar. Kamis, 14 Mei 1998, ibukota negara (Jakarta) dilanda kerusuhan
hebat. Tanggal 15 Mei 1998, pesawat yang membawa Presiden Soeharto dan rombongan
mendarat menjelang pukul 05.00 WIB pagi di pangkalan udara utama TNI AU Halim
Perdanakusuma dari kunjungan ke Kairo, Mesir untuk mengikuti Konfrensi Tingkat
Tinggi (KTT) Kelompok 15 (Group 15/G-15).
Tanggal 16 Mei 1998, Presiden
mengadakan serangkaian pertemuan termasuk berkonsultasi dengan unsur pimpinan
DPR. Tanggal 17 Mei 1998, Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya Abdul Latief
mengajukan surat pengunduran diri sebagai menteri. Tanggal 18 Mei 1998, ribuan
mahasiswa mendatangi Gedung MPR/DPR. Aksi tersebut berakhir seiring dengan
mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.
Mereka yang tewas adalah dua
mahasiswa angkatan 1995 dan dua mahasiswa angkatan 1996. Angkatan 1995 terdiri
dari Hery Hartanto (Fakultas Teknik Industri Jurusan Mesin) dan Hafidhin
Alifidin Royan (Fakultas Teknik Industri Jurusan Mesin). Sedang, mahasiswa yang
tewas angkatan 1996 adalah Elang Mulia Lesmana (Fakultas Teknik Sipil dan
Perencanaan Jurusan Arsitektur) dan Hendriawan Sie (Fakultas Ekonomi Jurusan
Manajemen) .
Soeharto membangun dan memperluas
konsep "Jalan Tengah"-nya Jenderal Nasution menjadi konsep dwifungsi
untuk memperoleh dukungan basis teoritis bagi militer untuk memperluas
pengaruhnya melalui pejabat-pejabat pemerintahan, termasuk cadangan alokasi
kursi di parlemen dan pos-pos utama dalam birokrasi sipil. Peran dwifungsi ini
adalah peran militer di bidang politik yang permanen.
Sepak terjang Ali Murtopo dengan
badan inteligennya mulai mengancam Soeharto. Persaingan antara Ali Moertopo dan
Sumitro dipergunakan untuk menyingkirkan Ali. Namun Sumitro pun segera ditarik
dari jabatannya dan kendali Kopkamtib dipegang langsung oleh Soeharto karena
dianggap potensial mengancam. Beberapa bulan setelah peristiwa Malari sebanyak
12 surat kabar ditutup dan ratusan rakyat Indonesia termasuk mahasiswa
ditangkap dan dipenjarakan.
Pada 1978 untuk mengeliminir gerakan
mahasiswa maka segera diberlakukannya NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan
Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Kebijakan ini ditentang keras oleh
banyak organisasi mahasiswa. Hubungan kegiatan mahasiswa dengan pihak kampus
hanyalah kepada mereka yang diperbolehkan pemerintah lewat mekanisme kontrol
dekanat dan rektorat.
Mulut pers pun dibungkam dengan
lahirnya UU Pokok Pers No. 12 tahun 1982. UU ini mengisyaratkan adanya
restriksi atau peringatan mengenai isi pemberitaan ataupun siaran. Organisasi
massa yang terbentuk harus memperoleh izin pemerintah dengan hanya satu
organisasi profesi buatan pemerintah yang diperbolehkan berdiri. Sehingga organisasi
massa tak lebih dari wayang-wayang Orde Baru.
Kemudian pada tahun 1979-1980 muncul
sekelompok purnawirawan perwira tinggi angkatan bersenjata dan tokoh-tokoh
sipil yang dikenal kritis, yang tergabung dalam Petisi 50, mengeluarkan serial
selebaran yang mengeluhkan sikap politik pemerintah Orde Baru yang menjadikan
Angkatan Darat sebagai pendukung kemenangan Golkar, serta menuntut adanya
reformasi politik. Sebagai balasannya, pemerintah mencekal mereka. Kelompok ini
pun gagal serta tak pernah mampu tampil lagi sebagai kelompok oposisi yang
efektif terhadap pemerintahan Orde Baru.
Puncak Orde Baru
Pada masa pemerintahannya, Presiden
Soeharto menetapkan pertumbuhan ekonomi sebagai pokok tugas dan tujuan
pemerintah. Dia mengangkat banyak teknokrat dan ahli ekonomi yang sebelumnya
bertentangan dengan Presiden Soekarno yang cenderung bersifat sosialis.
Teknokrat-teknokrat yang umumnya berpendidikan barat dan liberal (Amerika
Serikat) diangkat adalah lulusan Berkeley sehingga mereka lebih dikenal di
dalam klik ekonomi sebagai Mafia Berkeley di kalangan Ekonomi, Industri
dan Keuangan Indonesia. Pada masanya, Indonesia mendapatkan bantuan ekonomi dan
keuangan dari negara-negara donor (negara-negara maju) yang tergabung dalan IGGI
yang diseponsori oleh pemerintah Belanda. Namun pada tahun 1992, IGGI
dihentikan oleh pemerintah Indonesia karena dianggap turut campur dalam urusan
dalam negeri Indonesia, khususnya dalam kasus Timor Timur pasca Insiden Dili.
Peran IGGI ini digantikan oleh lembaga donor CGI
yang disponsori Perancis. Selain itu, Indonesia mendapat bantuan dari lembaga
internasional lainnya yang berada dibawah PBB seperti UNICEF, UNESCO dan WHO.
Namun sayangnya, kegagalan manajemen ekonomi yang bertumpu dalam sistem trickle
down effect (menetes ke bawah) yang mementingkan pertumbuhan dan
pengelolaan ekonomi pada segelintir kalangan serta buruknya manajemen ekonomi
perdagangan industri dan keuangan (EKUIN) pemerintah, membuat Indonesia
akhirnya bergantung pada donor Internasional terutama paska Krisis 1997. Dalam
bidang ekonomi juga, tercatat Indonesia mengalami swasembada beras pada tahun 1984.
Namun prestasi itu ternyata tidak dapat dipertahankan pada tahun-tahun
berikutnya. Kemudian kemajuan ekonomi Indonesia saat itu dianggap sangat
signifikan sehingga Indonesia sempat dimasukkan dalam negara yang mendekati
negara-negara Industri Baru bersama dengan Malaysia, Filipina dan Thailand,
selain Singapura, Republik Tiongkok, dan Korea Selatan.
Di bidang politik, Presiden Soeharto
melakukan penyatuan partai-partai politik sehingga pada masa itu dikenal tiga
partai politik yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya
(Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dalam upayanya menyederhanakan
kehidupan berpolitik di Indonesia sebagai akibat dari politik masa presiden
Soekarno yang menggunakan sistem multipartai yang berakibat pada jatuh
bangunnya kabinet dan dianggap penyebab mandeknya pembangunan. Kemudian
dikeluarkannnya UU Politik dan Asas tunggal Pancasila yang mewarnai kehidupan
politik saat itu. Namun dalam perjalanannya, terjadi ketimpangan dalam
kehidupan politik di mana muncullah istilah "mayoritas tunggal" di
mana GOLKAR dijadikan partai utama dan mengebirikan dua parpol lainnya dalam
setiap penyelenggaraan PEMILU. Berbagai ketidakpuasan muncul, namun dapat
diredam oleh sistem pada masa itu.
Seiring dengan naiknya taraf
pendidikan pada masa pemerintahannya karena pertumbuhan ekonomi, muncullah
berbagai kritik dan ketidakpuasan atas ketimpangan ketimpangan dalam
pembangunan. Kesenjangan ekonomi, sosial dan politik memunculkan kalangan yang
tidak puas dan menuntut perbaikan. Kemudian pada masa pemerintahannya, tercatat
muncul peristiwa kekerasan di masyarakat yang umumnya sarat kepentingan
politik, selain memang karena ketidakpuasan dari masyarakat.
Beberapa catatan atas tindakan
represif Orde Baru
Presiden Soeharto dinilai memulai
penekanan terhadap suku Tionghoa, melarang penggunaan tulisan Tionghoa tertulis
di berbagai material tertulis, dan menutup organisasi Tionghoa karena tuduhan
simpati mereka terhadap komunis. Walaupun begitu, Soeharto terlibat
persahabatan yang akrab dengan Lee Kuan Yew yang pernah manjadi Perdana Menteri
Singapura yang beretnis Tionghoa.
Pada 1970 Soeharto melarang protes
pelajar setelah demonstrasi yang meluas melawan korupsi. Sebuah komisi
menemukan bahwa korupsi sangat umum. Soeharto menyetujui hanya dua kasus dan
kemudian menutup komisi tersebut. Korupsi kemudian menjadi sebuah endemik.
Dia memerintah melalui kontrol
militer dan penyensoran media. Dia menguasai finansial dengan memberikan
transaksi mudah dan monopoli kepada saudara-saudaranya, termasuk enam anaknya.
Dia juga terus memainkan faksi berlainan di militer melawan satu sama lain,
dimulai dengan mendukung kelompok nasionalis dan kemudian mendukung unsur Islam.
Pada 1973 dia memenangkan jangka
lima-tahun berikutnya melalui pemilihan "electoral college".
dan juga terpilih kembali pada 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Soeharto
mengubah UU Pemilu dengan mengizinkan hanya tiga partai yang boleh mengikuti
pemilihan, termasuk partainya sendiri, Golkar. Oleh karena itu semua partai
Islam yang ada diharuskan bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan,
sementara partai-partai non-Islam (Katolik dan Protestan) serta partai-partai
nasionalis digabungkan menjadi Partai Demokrasi Indonesia.
Pada 1975, dengan persetujuan bahkan
permintaan Amerika Serikat dan Australia, ia memerintahkan pasukan Indonesia
untuk memasuki bekas koloni Portugal Timor Timur setelah Portugal mundur dan
gerakan Fretilin memegang kuasa yang menimbulkan kekacauan di masyarakat Timor
Timur Sendiri, serta kekhawatiran Amerika Serikat atas tidakan Fretilin yang
menurutnya mengundang campur tangan Uni Soviet. Kemudian pemerintahan pro
integrasi dipasang oleh Indonesia meminta wilayah tersebut berintegrasi dengan
Indonesia. Pada 15 Juli 1976 Timor Timur menjadi provinsi Timor Timur sampai
wilayah tersebut dialihkan ke administrasi PBB pada 1999.
Kejatuhan Presiden Soeharto
Pada 1997, menurut Bank Dunia, 20
sampai 30% dari dana pengembangan Indonesia telah disalahgunakan selama
bertahun-tahun. Krisis finansial Asia pada tahun yang sama tidak membawa hal
bagus bagi pemerintahan Presiden Soeharto ketika ia dipaksa untuk meminta
pinjaman, yang juga berarti pemeriksaan menyeluruh dan mendetail dari IMF.
Meskipun sempat menyatakan untuk
tidak dicalonkan kembali sebagai Presiden pada periode 1998-2003, terutama pada
acara Golongan Karya, Soeharto tetap memastikan ia terpilih kembali oleh parlemen
untuk ketujuh kalinya di Maret 1998. Setelah beberapa demonstrasi, kerusuhan,
tekanan politik dan militer, serta berpuncak pada pendudukan gedung DPR/MPR RI,
Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 untuk menghindari
perpecahan dan meletusnya ketidakstabilan di Indonesia. Pemerintahan
dilanjutkan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, B.J. Habibie.
Dalam pemerintahannya yang
berlangsung selama 32 tahun lamanya, telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan
termasuk korupsi dan pelanggaran HAM. Hal ini merupakan salah satu faktor
berakhirnya era Soeharto. Namun, Michel Camdesus, Direktur IMF mengakui bahwa
apa yang dilakukan IMF di Indonesia tidak lain sebagai katalisator jatuhnya
Pemerintahan Soeharto. Sebagaimana dikutif New York Times, Camdesus menyatakan “we
created the conditions that obliged President Soeharto Left his job".
Di Credentials Room, Istana Merdeka,
Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Presiden Soeharto membacakan pidato yang
terakhir kali, demikian:
Sejak beberapa waktu terakhir, saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi nasional kita, terutama aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas dasar pemahaman saya yang mendalam terhadap aspirasi tersebut dan terdorong oleh keyakinan bahwa reformasi perlu dilaksanakan secara tertib, damai, dan konstitusional.Demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta kelangsungan pembangunan nasional, saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII. Namun, kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan komite tersebut.Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari Kamis, 21 Mei 1998.Pernyataan saya berhenti dari jabatan sebagai Presiden RI saya sampaikan di hadapan saudara-saudara pimpinan DPR dan juga adalah pimpinan MPR pada kesempatan silaturahmi. Sesuai Pasal 8 UUD 1945, maka Wakil Presiden RI, Prof. Dr. Ing. BJ Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden/Mandataris MPR 1998-2003. Atas bantuan dan dukungan rakyat selama saya memimpin negara dan bangsa Indonesia ini saya ucapkan terima kasih dan minta maaf bila ada kesalahan dan kekurangan-kekurangannya semoga bangsa Indonesia tetap jaya dengan Pancasila dan UUD 1945.Mulai hari ini pula Kabinet Pembangunan VII demisioner dan kepada para menteri saya ucapkan terima kasih. Oleh karena keadaan tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan pengucapan sumpah di hadapan DPR, maka untuk menghindari kekosongan pimpinan dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, kiranya saudara wakil presiden sekarang juga akan melaksanakan sumpah jabatan presiden di hadapan Mahkamah Agung RI.
Sesaat kemudian, Presiden Soeharto
menyerahkan pucuk pimpinan negeri kepada Prof. Dr. Ing. BJ Habibie. Setelah
melaksanakan sumpah jabatan, akhirnya BJ Habibie resmi memangku jabatan
presiden ke-3 RI. Ucapan selamat datang mulai dari mantan Presiden Soeharto,
pimpinan dan wakil-wakil pimpinan MPR/DPR, para menteri serta siapa saja yang
turut dalam pengucapan sumpah jabatan presiden ketika itu.
Tak berselang terlalu lama, Menteri
Pertahanan Keamanan merangkap Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto membacakan
pernyataan sikap, demikian:
Pertama, memahami situasi yang
berkembang dan aspirasi masyarakat, ABRI mendukung dan menyambut baik
permintaan berhenti Bapak Soeharto sebagai Presiden RI serta berdasarkan konstutusi
mendukung Wakil Presiden Bapak BJ Habibie sebagai Presiden RI.
Kedua, ABRI yang tetap kompak dan satu berharap dan mengajak
kepada seluruh rakyat Indonesia untuk menerima kehendak pribadi Presiden
Soeharto tersebut yang telah sesuai dengan konstitusi, yakni Pasal 8 UUD 1945.
Ketiga, dalam hal ini, ABRI akan
tetap berperan aktif guna mencegah penyimpangan dan hal-hal lain yang dapat
mengancam keutuhan bangsa.
Keempat, menjunjung tinggi nilai
luhur budaya bangsa, ABRI akan tetap menjaga keselamatan dan kehormatan para
mantan Presiden/Mandataris MPR termasuk Bapak Soeharto beserta keluarganya.
Kelima, ABRI mengajak semua pihak agar bersikap tenang, mencegah terjadinya
kerusuhan dan tindak kekerasan yang akhirnya akan merugikan masyarakat sendiri.
Kasus
dugaan korupsi
Setelah Soeharto resmi mundur dari
jabatannya sebagai presiden, berbagai elemen masyarakat mulai menuntut agar
digelar pengusutan dan pengadilan atas mantan presiden yang bekuasa paling lama
di Indonesia itu. Pada 1 September 1998, tim Kejaksaan Agung mengumumkan adanya
indikasi penggunaan uang yayasan di bawah pemerintahan mantan Presiden
Soeharto. Melalui Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) pada 6 September 1998,
Soeharto muncul dan menyatakan bahwa dia tidak mempunyai kekayaan di luar
negeri.
Jaksa Agung AM Ghalib dan Menko
Wasbang/PAN Hartarto menemuinya di Jalan Cendana (Jakarta) untuk
mengklarifikasi penyataan tersebut (21 September 1998). Pada 21 November 1998,
Fraksi Karya Pembangunan (FKP) mengusulkan kepada pemerintah agar menetapkan
mantan Presiden Soeharto sebagai tahanan kota. Ini merupakan tindak awal
pengusutan harta dan kekayaan Soeharto yang diduga berasal dari Kolusi,
Korupsi, dan Nepotisme (KKN).
Pada 3 Desember 1998, Presiden BJ
Habibie menginstruksikan Jaksa Agung AM Ghalib segera mengambil tindakan hukum
memeriksa mantan Presiden Soeharto. Pada 9 Desember 1998, Soeharto diperiksa
tim Kejaksaan Agung di Kejaksaan Tinggi Jakarta sehubungan dengan dana yayasan,
program mobil nasional, kekayaan Soeharto di luar negeri, dan kasus Tapos.
Majalah Time melansir berita tentang kekayaan Soeharto di luar negeri yang
mencapai US$15 miliar (22 Mei 1999). Pada 27 Mei 1999, Soeharto menyerahkan
surat kuasa khusus kepada Jaksa Agung AM Ghalib untuk menelisik kekayaannya di
Swiss dan Austria, seperti diberitakan Majalah Time. Pada 2 Juni 1999, Soeharto
mengadukan Majalah Time ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia atas
tuduhan memfitnah pada pemberitaannya. Soeharto menuntut ganti rugi sekitar 27
miliar dollar AS.
Soeharto memiliki dan mengetuai
tujuh buah yayasan, yaitu Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar,
Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti
(Dakab), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan,
Yayasan Trikora. Pada 1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90
Tahun 1995. Keppres ini menghimbau para pengusaha untuk menyumbang 2 persen
dari keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri.
Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan
Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil
pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik
hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999.
Menurut Transparency International,
Soeharto menggelapkan uang dengan jumlah terbanyak dibandingkan pemimpin dunia
lain dalam sejarah dengan perkiraan 15–35 miliar dolar A.S. selama 32 tahun
masa pemerintahannya.
Pada 12 Mei 2006, bertepatan dengan
peringatan sewindu Tragedi Trisakti, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh
mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah mengeluarkan Surat Keputusan
Penghentian Penuntutan (SKPP) perkara mantan Presiden Soeharto, yang isinya
menghentikan penuntutan dugaan korupsi mantan Presiden Soeharto pada tujuh
yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi fisik dan mental terdakwa yang
tidak layak diajukan ke persidangan. SKPP itu dikeluarkan Kejaksaan Negeri
Jakarta Selatan pada 11 Mei 2006, namun SKPP ini lalu dinyatakan tidak sah oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 12 Juni 2006.
Bidang politik
Sebagai presiden Indonesia selama
lebih dari 30 tahun, Soeharto telah banyak memengaruhi sejarah Indonesia.
Dengan pengambil alihan kekuasaan dari Soekarno, Soeharto dengan dukungan dari Amerika
Serikat memberantas paham komunisme dan melarang pembentukan partai komunis.
Dijadikannya Timor Timur sebagai provinsi ke-27 (saat itu) juga dilakukannya
karena kekhawatirannya bahwa partai Fretilin (Frente Revolucinaria De Timor
Leste Independente /partai yang berhaluan sosialis-komunis) akan berkuasa
di sana bila dibiarkan merdeka Hal ini telah mengakibatkan menelan ratusan ribu
korban jiwa sipil. Sistem otoriter yang dijalankan Soeharto dalam masa
pemerintahannya membuatnya populer dengan sebutan "Bapak",
yang pada jangka panjangnya menyebabkan pengambilan keputusan-keputusan di DPR
kala itu disebut secara konotatif oleh masyarakat Indonesia sebagai sistem
"ABS" atau "Asal Bapak Senang".
Bidang
kesehatan
Untuk mengendalikan jumlah penduduk
Indonesia, Soeharto memulai kampanye Keluarga Berencana yang menganjurkan
setiap pasangan untuk memiliki secukupnya 2 anak. Hal ini dilakukan untuk
menghindari ledakan penduduk yang nantinya dapat mengakibatkan berbagai
masalah, mulai dari kelaparan, penyakit sampai kerusakan lingkungan hidup.
Bidang
pendidikan
Dalam bidang pendidikan Soeharto
mempelopori proyek Wajib Belajar yang bertujuan meningkatkan rata-rata taraf
tamatan sekolah anak Indonesia. Pada awalnya, proyek ini membebaskan murid
pendidikan dasar dari uang sekolah (Sumbangan Pembiayaan Pendidikan) sehingga
anak-anak dari keluarga miskin juga dapat bersekolah. Hal ini kemudian
dikembangkan menjadi Wajib Belajar 9 tahun.
Kematian
Pada Tanggal 27 Januari 2008 Pukul
13.10 WIB, Soeharto meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta.
Kemudian sekitar pukul 14.35, jenazah mantan Presiden Soeharto diberangkatkan
dari RSPP menuju kediaman di Jalan Cendana nomor 8, Menteng, Jakarta Ambulan
yang mengusung jenazah Pak Harto diiringi sejumlah kendaraan keluarga dan
kerabat serta pengawal. Sejumlah wartawan merangsek mendekat ketika
iring-iringan kendaraan itu bergerak menuju Jalan Cendana, mengakibatkan
seorang wartawati televisi tertabrak.
Di sepanjang jalan Tanjung dan Jalan
Cendana ribuan masyarakat menyambut kedatangan iringan kendaraan yang membawa
jenazah Pak Harto. Rangkaian kendaraan yang membawa jenazah mantan Presiden
Soeharto oehmemasuki Jalan Cendana, sekitar pukul 14.55, Minggu (27/1).
Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono
didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla dan beberapa menteri yang tengah
mengikuti rapat kabinet terbatas tentang ketahanan pangan, menyempatkan
mengadakan jumpa pers selama 3 menit dan 28 detik di Kantor Presiden, Jakarta,
Minggu (27/1). Presiden menyampaikan belasungkawa yang mendalam atas wafatnya
mantan Presiden RI Kedua Haji Muhammad Soeharto.
Minggu Sore pukul 16.00 WIB, Presiden
Soesilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, lebih dulu melayat ke
Cendana.
Pemakaman
Jenazah mantan presiden Soeharto
diberangkatkan dari rumah duka di Jalan Cendana, Jakarta, Senin, 28 Januari
2008, pukul 07.30 WIB menuju Bandara Halim Perdanakusuma. Selanjutnya jenazah
akan diterbangkan dari Bandara Halim Perdanakusuma ke Solo pukul 10.00 WIB
untuk kemudian dimakamkan di Astana Giri Bangun, Solo, Senin (28/1). Jenazah
tiba di Astana Giri Bangun siang itu sebelum pukul 12.00 WIB. Almarhum
diturunkan ke liang lahad pada pukul 12.15 WIB bersamaan dengan
berkumandangnya adzan dzuhur. Almarhum sudah berada di liang lahat siang itu
pukul 12.17 WIB. Upacara pemakaman Soeharto tersebut dipimpin oleh inspektur
upacara Susilo Bambang Yudhoyono.
source: Wikipedia
source: Wikipedia
Jenderal Besar TNI (Purn.) H. M. Soeharto
Reviewed by King Denie
on
12:17 AM
Rating:
No comments:
sempatkan untuk komentar bentar ya... ;)