Swanish's Love Story - Part 26
Divorce
13
februari 2012, senin malam selasa waktu baru menunjukan jam 8 malam lewat
dikit, rasa lapar menyiksa saat baru pulang ngajar private di Sawangan, akhirnya gue mampir ke pecel ayam di samping
Bakso tete, selalu menyenangkan makan disini, selain rasa bumbunya yang khas,
berbeda dengan yang lain, ada juga sebauah cerita usang yang diam-diam masih ada dan gue sembunyikan
dalam hati.
Rasa
lapar membuat hidangan didepan gue cepat habis, luar binasa rasanya sudah lama
gue ngga’ makan pecel ayam, ngga’ terlalu memperhatikan sekitar karena kenikmatan dunia
ini, sepertinya ada yang memperhatikan gue sedari tadi dari meja sebelah gue,
Astagaaa...Jenong.
Gue
menatapnya dari meja gue, dia melambaikan tangan nampak sepertinya dia
mengucapkan kata halo tapi tanpa suara, waaah..jangan-jangan dia bisu sekarang,
gue liet-liet sekitar jangan-jangan dia bawa bodiguard from beijing, sepertinya
aman, gue menghampirinya
“hallo..”
kata gue sambil menjabat tangannya, dia tersenyum
“hallo,
apa kabar?” katanya, senyum manis mngembang mengiringi saat gue duduk, Ya
Allah, senyum yang selalu hadir dalam mimpi-mimpi gue sekarang tepat ada
didepan mata gue.
“sendirian?”
kata gue memastikan semuanya aman, gue ngga’ mau lagi asyik-asyik ngobrol nanti
ditembak mati disini, ngga’ enak kalo nanti beritanya ditulis di
koran dengan judul “laki-laki ga’ jelas ditembak mati saat makan di pecel ayam” salah-salah nanti orang baca “ayam ditembak mati saat makan”.
“yup,
aku sendirian...” dia menunduk saat mengatakannya, seperti ada sesuatu yang
tiba-tiba menyergapnya
“ini
seperti sudah direncanakan ya, aku jarang banget makan disini bahkan ngga’
pernah lagi sejak kita sudah ngga’ bersama, begitu aku makan disini lagi setelah sekian
lama dan ketemu kamu disini neng..” dia tak mengatakan apa-apa, cuma memandang
gue begitu dalam, seperti ada sesuatu dimatanya, belek? Bukan lebih mirip
dengan sesuatu yang terpendam begitu lama.
“aku
sengaja datang kemari..” kata dia dengan suara lirih, gue mulai mencium sesuatu
yang ngga’ enak ini, Sengaja?
“sudah
beberapa hari yang lalu aku udah merencanakan buat datang kesini, cuma nunggu
malam yang tepat aja..” katanya
“waah,
kaya mo kemana gitu rencananya, ini kan cuma sekedar datang ke sini..”
“memang,
tapi apa yang terjadi beberapa tahun kebelakanglah
yang membuat aku datang lagi kesini..” gue agak tersentak saat dia mengatakan
kalimat itu, apa yang terjadi memang?, ngga’ mungkin dia masih mengingat malam valentine beberapa
tahun lalu saat kita masih bersama.
“apa
yang terjadi memang disini...?” rasa ingin tahu menghimpit dalam dada gue
rasanya
“entah
kamu masih ingat apa ngga Den, tapi aku masih
mengingat dengan jelas apa yang terjadi malam itu, saat malam valentine kita..”
astagaaa, ini kata yang gue tunggu sebenarnya, dan dia
menyebutnya malam valentine kita, gue diam bingung apa yang mesti gue omongin.
“valentine
terindah dihidup aku..” katanya, belum bisa gue netralisir rasa tak percaya
gue, bertemu dia disini dan membicarakan masa lalu.
“lo
udah melupakan semua ya..?” katanya karena melihat gue tetap diam
“masih,
masih ingat koq bahkan tiap kata yang aku ucapkan malam itu, setiap kata yang
kamu ucapkan, setiap senyuman, bahkan setiap kedipan mata kamu, masih terasa
baru kemarin semuanya terjadi...” kata gue akhirnya, dia
tersenyum.
“aku
pikir kamu sudah melupakan semuanya...”
“bukan
lupa, tepatnya berusaha melupakan...”kata gue lirih, tiba-tiba rasa sakit yang
dulu mencabik cabik kini hadir lagi.
“mengapa?,
biarkan saja cerita itu tetap ada sebagai pemanis masa muda kita....”
“pemanis
ya, gue pikir cerita kita cuma pemanis buatan neng, yang akan membuat efek
negatif ke dalam tubuh..”
“koq
ngomongnya kaya gitu sii....?” dia menggenggam
tangan gue, tapi cepat-cepat gue tarik tangan gue, takut tiba-tiba ada samurai
yang mampir ke tangan gue yang membuat tangan gue copot dari
tempatnya, dia istri orang Deni...ngga’ enak kan kalo gue ngga’ ada tangan, gimana gue mau ngupil, masa pake kaki..,
dia tersenyum melihat gue menarik tangan.
“maaf....”
kata gue, keren banget ya gue, ini pertama kali gue lakukan, menolak genggaman
tangannya
“Shopie....maaf, jujur aku merindukan saat-saat kita
masih bersama, aku khayalkan pertemuan ini, disini...walupun aku ngga’ bisa
pungkiri kalo mengingat senyum kamu berarti mengingat semua racun yang kamu
berikan ke aku”
“racun?”
“ya
racun...entah racun apa yang kamu berikan, aku ngga’ bisa recovery selama
bertahun-tahun, selalu berkhayal kalo ternyata akhirnya kita bisa bersama,
selalu berharap kalo akhirnya kamu memutuskan untuk kembali kedunia kita...”
haduuh, galau jadinya gue, dia diam, gue diam.
Dia berusaha menggenggam tangan gue lagi, kali ini gue biarkan
saja, kehangatan mengalir dari tangan ke otak gue yang membuat flashback ke
masa-masa lalu saat pisang cokelat masih terasa sangat manis.
“maaf...maaf
banget atas semuanya, aku tau aku egois, hanya memikirkan kebahagian aku saja,
tanpa memikirkan kebahagiaan orang yang sayang sama aku, tanpa memikirkan
kebahagian kamu, andai saja bisa kuperbaiki semua dari awal..” katanya sambil
menundukan wajahnya, baru kali ini gue mendengar hal seperti ini diucapkannya,
biasanya dia tak pernah meminta maaf, merasa selalu benar, there’s something wrong with her brain I think
“aku
pikir ga’ ada gunanya juga kita bahas lagi hal ini, ga’ akan merubah apa yang terjadi...gimana keluarga kamu?” gue berusaha
mengalihkan pembicaraan, ngga’ nyaman lama-lama terjebak dalam ruang nostalgia.
“aku
ngga’ berhasil..” katanya sambil menunduk, ternyata ngga’ berhasil gue mengalihkan pembicaraan sepertinya malah terjerembab
kedalam obrolan yang lebih dalam
“ga’ berhasil?, maksud kamu?..”
“yaa
ga’ berhasil...divorce...” dia mengangkat mukanya, gue lihat matanya berkaca-kaca, bukankah
dia perempuan besi yang tak pernah menitikkan airmatanya sama sekali, mungkin sekarang dia menghadapi masalah yang
diambang batas kemampuannya.
Divorce,
kata yang selalu ingin gue dengar, jujur gue berdoa supaya hal ini terrjadi
dengan rumah tangga dia, jahat ya gue, egois banget, bukan menginginkan dia ngga’ berhasil dalam rumah tangganya, gue cuma ingin dia
balik ke gue, itu aja..sekarang hal ini terjadi,
apa yang harus gue lakukan?.
“Kok
bisa neng?..”
“ya
begitulah, cinta kadang memang ngga’ bisa dimengerti, seseorang yang dipilih dan dianggap tepat ternyata akhirnya menyakiti, dan
akhirnya aku hanya menapaki jejak-jejak masa lalu dan berharap bisa menemukan
kedamaian dan membuang jauh rasa sakit ini...”
“dan
kamu menapaki jejak-jejak masa lalu kita...”
“yaa
begitulah, mendamaikan pikiran aku, sejenak hilang semua beban yang mulai
menghimpit berbulan-bulan lalu, menyenangkan melihat kamu lagi, melihat kamu
masih hidup...” katanya sambil tersenyum, gue tertawa, jadi ingat dulu gue
pernah bilang ngga’ bisa hidup tanpa dia, lucu ya ternyata gue sekarang masih
hidup, sehat wal afiat dan bisa menulis buku ini.
“tadinya
aku mau mati neng, tapi ngga’ jadi karena ngga’ suka nanti dibungkus dengan
kain kain kafan yang putih..” dia mendengarkan dengan penasaran
“teruus,
maunya gimana...?”
“gimana
kalo warna biru, mungkin menarik, aku suka warna biru...” kata gue, dia tertawa
“terus
kalo aku suka warna pink, nanti kain kafannya warna pink gitu..”katanya sambil
tertawa
“pink
polkadot gimana?..” dia tertawa lagi, moment-moment yang pernah terlewatkan dan
selalu jadi hal mewah adalah melihatnya tertawa.
“macam-macam
aja kamu, kalo pink polkadot nanti pocongnya ga’ serem lagi dong, malah unyu....” kita tertawa ga’ peduli dengan beberapa pasang mata yang memperhatikan dimeja-meja
sebelah.
“tadinya
aku mau mati neng, tapi bagaimana caranya itu pertanyaannya, kalo aku bunuh
diri takut dosa, kalo mati wajar ngga’ mungkin karena aku ga’ tau kapan jatah matiku diberikan, sempet kepikiran
gimana kalo aku mati karena sakit aja, tapi aku pikir sakit apa ya, pas cek up
ke dokter jantung sehat jadi ga’ mungkin aku mati
karena sakit jantung, paru-paru sehat jadi ga’ mungkin mati karena sakiit paru-paru atau TBC, sakit yang aku derita
waktu itu ya panu, gimana kalo aku mati karena sakit panu aja, ga’ keren banget kayanya dah..”
“haha,
aneh banget sii kamu...” senang bisa membuat senyum mengembang dibibirnya
“tapi
satu hal yang kamu harus tau neng...setelah kamu pergi aku
bertahan mati-matian supaya ngga’ menjadi gila...” dia menunduk mendengar kalimat itu
“maaf
ya...”
“ga’
ada yang perlu dimaafkan koq, semuanya ada hikmahnya...kita ambil saja hikmah
dibalik semua kejadian ini...”
“hikmahnya?”
“iya,
hikmah dari kejadian ini, hikmah dari perpisahan kita beberapa tahun lalu,
perpisahan kamu dengan pilihan kamu...”
“aku
belum bisa memetik hikmah dari perpisahan dengan dia...”
“coba
kamu pikir deh, aku kasih gambaran ni ya, hikmah yang bisa kamu petik, satu, dengan kamu berpisah dengan dia, kamu bisa bertemu aku lagi disini dan
sumpah demi apapun ini menyenangkan sekali buat aku, kedua,
kamu jadi tau manusia seperti apa dia, ketiga, mungkin kamu bisa menemukan
orang yang lebih baik dari dia...”
“begitu
ya...?”
“iya dong
neng, memang perlu otak yang jernih untuk bisa memetik hikmah, ga’ kaya otak kamu yang lagi kacau...”
“aku
ga’ bisa berpikir jernih beberapa bulan ini, otak kacau
beliau, yang ada cuma rasa benci, rasa kecewa karena dikhianati..”
“sudahlah...ngga’ usah dibahas lagi cuma bikin otak pegal aja
kan..”
“iya
memang...”
“naah
itu, cerita yang menyenangkan saja..”
“menyenangkan?
Seperti apa?”
“seperti
ketemu aku disini, haha...”
Ngga’ terasa sudah sejam
lebih ngobrol bersamanya, jam sudah menunjukan jam 10 malam lewat dikit
“kamu mau
anterin aku pulang?” katanya sambil melihat jam tangan
“aman
ga?..”
“aman
tenang aja, lagian cuma anter pulang kan...”
“bukan
begitu, pandangan mata orang masih bisa aku bohongi tapi kalo peluru yang menembus dada ga’ bisa ditolak atau tiba-tiba nanti aku muntah keluar kodok kan ga’ banget neng..”
“tenang
aja ngga’ koq, kita udah sepakat ngga’ akan ganggu hidup
masing-masing setelah divorce...”
Motor
berhenti didepan rumah orangtuanya, sebuah tempat yang
sama dengan yang ada di bayangan otak gue beberapa tahun lalu, terbersit kenangan-kenangan
manis yang pernah terjadi disini.
Setelah
berpisah dengan laki-laki pilihannya Sophie
memutuskan sementara untuk tinggal dulu dirumah orangtuanya, ngga’ banyak
barang-barang yang dibawanya dari rumahnya disana, cuma pakaiannya beberapa dan
pakaian anaknya.
“well,
I think its time to say goodbye...” kata gue sambil
mengulurkan tangan untuk pamitan, Sophie diam dia
mengulurkan tangan kirinya, sebuah tanda kalo dia ngga’ mengizinkan gue untuk
pergi, dulu kita sering melakukan jabat tangan seperti ini.
“duduk
sebentar...’katanya
“tapi
sudah malam, ga’ enak neng...”
“sebentar
saja ada yang ingin aku ceritakan..” katanya, waah
kayanya serius banget ini, sedikit deg-degan mendengar dia bicara seperti itu,
dia mengajak mengobrol di teras rumahnya.
Beberapa
cuma terdengar gemerisik daun bambu didepan
rumahnya ditiup gelisah angin malam, dia menyandarkan kepalanya di bahu gue, Oh
my god!!
“setelah
semua yang terjadi beberapa tahun lalu, izinkan
aku untuk meminta maaf..”
“Sudahlah
neng, ngga penting lagi....aku ga’ terlalu mempermasalahkan lagi hal itu, sudah hampir aku lupakan semuanya...”
“melupakan
aku juga...?”
“itu
lain ceritanya....kamu tetap yang terindah yang pernah hadir dihidup aku..”
“bener?”
“beneran,
I mean it....”
“Deni,
aku pernah berpikir untuk kembali lagi ke dunia kita...”
“aku
juga pernah berpikir kesitu, sering sekali
malah...”
“tapi
aku memkirkannya lagi sekarang...memikirkan untuk kembali ke dunia kita..”
terkejut gue mendengar apa yang dikatakannya, kembali kedunia kita,
menyenangkan sekali mendengarnya.
“Sophie...kalimat
itu ingin sekali aku dengar keluar dari mulut kamu, kembali ke dunia kita,
mulai dari seminggu kamu menikah, sebulan, dua bulan, tiga bulan, setahun, dua tahun, dan akhirnya aku memutuskan ngga’ akan menunggu kamu lagi, karena aku yakin kamu ngga’ pernah bisa merasakan apa yang aku rasakan waktu itu
yaitu kesepian, hidup kamu menjadi indah dengan kehadiran orang yang kamu cinta
disisi kamu, sedangkan aku mesti bertahan untuk tetap waras di siksa sepi..” Sophie diam mendengarnya
“aku
ingin sekali kembali ke dunia kita, tapi aku ngga’ bisa
sekarang, tangan kakiku terikat oleh ikatan sakral” sambung gue, Sophie masih diam
“kamu
masih sayang sama aku...?” katanya akhirnya
“aku
sayang kamu, cinta kamu, tapi itu beberapa tahun lalu, walaupun ga’ bisa aku ingkari bayangan kamu masih mendatangi tidurku..”
“kamu
ngga’ mau kembali kedunia kita karena tubuhku sudah
terjamah laki-laki lain..?”
“ngga’...bukan itu, aku
punya dunia baru yang dipenuhi canda anakku Albanna, Elkamal dan Kaysa, aku ingin sekali jadi ayah
yang baik untuk mereka...” sepi kembali hadir
diantara kita beberapa lama, mungkin kata-kata gue barusan ngga’ enak terdengar,
maaf ya neng.
“sepertinya
dunia baru kamu bahagia ya...”
“tentu
dong, seperti yang kamu dengar...kamu tau kebahagian itu sederhana, melihat
senyum anak
-anakku saja sudah cukup membahagiakan”
kata gue
“aku iri
dengan kamu...” lirihnya, aku tertawa getir karena terjebak diruang
nostalgia yang ngga’ ingin gue tinggalkan dan gue mengingkarinya malam ini.
Anjriit!!
Motor di belakang gue klakson keras banget ternyata gue bawa motor terlalu
tengah, klakson itu membuyarkan lamunan gue yang lagi asyik-asyiknya
“kalo
bawa motor jangan bengong woyy!!!” katanya sambil nge-gas sekencang-kencangnya melewati motor gue, dalam hitungan detik motor
sial itu sudah tak terlihat
Kebiasaan
gue kalo bawa motor, lamunan kemana-mana, segala macam mampir ke otak, buat
hiburan dijalan, biar ngga’ bete kalo naik motor, Awas!!, jangan lakukan hal ini tanpa pengawasan
ahli!!
Seraut wajah dalam lamunan
Reviewed by King Denie
on
9:15 PM
Rating:
No comments:
sempatkan untuk komentar bentar ya... ;)